Mahasiswa IP FH UII membayar lebih mahal dengan iming-iming pembelajaran global dan fasilitas unggulan. Namun, realita yang mereka hadapi jauh dari ekspektasi: fasilitas setara dengan program reguler, dosen asing yang sulit dipahami, hingga sistem akademik yang dianggap kaku. Di balik janji globalisasi, muncul tanda tanya besar: ke mana dana sebenarnya mengalir?
Yogyakarta – Keadilan. Internasional Program (IP) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kerap dipandang sebagai program unggulan yang menawarkan pengalaman akademik berbeda, mulai dari penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar hingga kesempatan pertukaran pelajar. Namun, di balik janji-janji tersebut, muncul beragam keluhan dari mahasiswa, terutama terkait transparansi pengelolaan dana dan kesetaraan fasilitas.
Dengan biaya kuliah yang lebih tinggi dibandingkan program reguler, mahasiswa IP berharap mendapatkan fasilitas serta kualitas pembelajaran yang sebanding. Namun, kenyataan di lapangan dinilai belum memenuhi harapan. Transparansi penggunaan dana sering dipertanyakan. Menanggapi hal ini, pihak fakultas menegaskan bahwa seluruh mahasiswa, baik dari program reguler maupun internasional, menggunakan fasilitas yang sama karena sistem Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) digabung dalam skema penggabungan uang SPP menjadi satu sistem pendanaan (sharing facility).
Mengapa Ada Dua Harga untuk Satu Fasilitas Sama? Ke mana Dana Sebenarnya?
IP selama ini digadang-gadang sebagai kebanggaan fakultas. Ekspektasi mahasiswa terhadap program ini pun tinggi, mulai dari fasilitas ruang kelas hingga kualitas tenaga pengajar. Namun, sebagian mahasiswa mulai mengeluhkan ketimpangan yang dirasa, salah satunya Kelly (nama samaran) yang menyampaikan, “Fasilitas kami itu harusnya lebih baik daripada reguler, terutama dalam bentuk ruangan kelas.”
Menanggapi hal tersebut, Ketua Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) Dodik Setiawan Nur Heriyanto menegaskan bahwa tidak ada perbedaan kualitas antara program reguler dan internasional. “Tidak boleh ada anggapan bahwa kelas reguler lebih jelek dibanding kelas internasional. Itu tidak benar sama sekali,” ujarnya. Menurutnya, ketidakpuasan yang muncul lebih berkaitan dengan ekspektasi mahasiswa terhadap fasilitas dan pembelajaran.
Dodik juga menjelaskan bahwa skema sharing facility diterapkan dalam sistem pendanaan kampus, sehingga seluruh fasilitas baik fisik seperti ruang kelas, maupun non-fisik seperti kurikulum dan metode pembelajaran, dapat diakses oleh semua mahasiswa tanpa diskriminasi.
Meski demikian, ia mengakui terdapat perbedaan teknis antara kelas IP dan reguler. “Kami memang menyediakan beberapa kelas yang sedikit berbeda untuk mahasiswa IP, tetapi bukan berarti kelas reguler lebih rendah. Standar dasar tetap sama, seperti adanya AC, proyektor, dan peredam suara. Perbedaan utama hanya pada penggunaan bahasa Inggris dan ukuran kelas yang lebih kecil,” jelasnya. Namun, klarifikasi ini justru memunculkan pertanyaan baru. “Uang additional tuition fee sebesar Rp10.000.000 itu digunakan untuk apa saja? Kami berhak tahu penggunaannya,” tanya Kelly.
Menanggapi hal tersebut, Dekan FH UII, Budi Agus Riswandi, menegaskan bahwa seluruh pengelolaan anggaran telah diatur dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). Sebagai tindak lanjut, Dodik menyampaikan bahwa pihak kampus akan membangun smart classroom yang direncanakan berada di ruang CR3/9 sebagai bentuk komitmen terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan pemenuhan hak mahasiswa IP.
Mahasiswa IP Sulit Memilih Mata Kuliah Pilihan : “Kalau Cuma Satu Mahasiswa Rugi!”
Selain persoalan fasilitas, mahasiswa IP Fakultas Hukum UII juga menghadapi kendala dalam pemilihan mata kuliah pilihan. Memasuki semester enam, mereka sudah dapat melakukan key-in mandiri karena sistem pembelajaran telah beralih dari paket penuh menjadi semi paket. Pada tahap ini, mahasiswa diberi keleluasaan memilih sebagian mata kuliah sesuai minat, meskipun tetap diwajibkan mengikuti beberapa mata kuliah paket.
Namun, implementasi sistem ini justru menimbulkan hambatan. Kara (nama samaran), mahasiswa semester enam, mengaku kecewa atas respons staf akademik saat mengusulkan pembukaan kelas mata kuliah pilihan. “Kenapa harus buka kelas ini? Kan ini sudah ada yang dibuka, kenapa harus kelas itu?” ujar staf tersebut, menurut keterangan Kara. Bagi Kara, tanggapan itu kurang memuaskan karena mata kuliah yang tersedia tidak sesuai dengan minat akademiknya.
Menanggapi hal tersebut, Dodik, menjelaskan bahwa efisiensi dana menjadi salah satu alasan pembatasan kelas. “Membuka satu kelas butuh biaya transport dosen, penyelenggaraan ujian, dan operasional lainnya. Kalau cuma satu mahasiswa yang ambil, dosen datang, mahasiswa tidak datang, rugi, kan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa mahasiswa IP sebenarnya dapat mengajukan pembukaan kelas tambahan dengan syarat minimal 4–6 orang, disertai lampiran kartu mahasiswa. Dodik juga menyinggung kasus seorang mahasiswa bernama Boy (nama samaran) yang pernah mengajukan pembukaan kelas tetapi tidak menjalankannya dengan serius. “Kalau satu mata kuliah pilihan dibuka hanya untuk satu orang, apalagi kalau mahasiswanya lawas, lalu ketika dosennya datang malah tidak hadir, maka terpaksa ditutup mata kuliah tersebut,” jelasnya.
IP Bukan Second Choice, Tapi Langkah Menggapai Cita-Cita!
Di sisi lain, muncul keluhan dari Bora (nama samaran), seorang mahasiswa yang ingin pindah dari IP ke program reguler. Bora menyatakan bahwa IP hanyalah pelarian karena tidak lolos seleksi program reguler. “Sebetulnya saya ambil reguler, tapi karena tidak diterima jadinya saya pilih IP,” ujarnya. Situasi seperti ini membuat pihak kampus menerapkan kebijakan ketat terkait perpindahan jurusan.
Kebijakan tersebut menuai perdebatan di kalangan mahasiswa, namun pihak fakultas menegaskan bahwa aturan ini dibuat demi menjaga kualitas akademik dan visi global yang telah ditetapkan. Menurut Budi, prinsip dasar kebijakan ini adalah menjaga reputasi internasional FH. “Kalau IP hanya menjadi feeder, maka cita-cita FH menjadi global itu hilang,” jelasnya.
Kini, IP tidak hanya hadir di jenjang S1, tetapi juga diperluas ke program S2 dan S3. Bahkan, fakultas tengah menjajaki program double degree bersama universitas luar negeri. “Mahasiswa yang memilih IP harus benar-benar memenuhi standar tinggi, bukan sekadar ‘kelas kedua’ bagi yang tidak lolos reguler,” tegas Budi.
Akibat dari kebijakan ini, proses perpindahan dari IP ke reguler menjadi sulit. Meski sebagian mahasiswa menilai aturan tersebut terlalu kaku, fakultas bersikukuh bahwa standar mutu harus tetap dijaga.
Sementara itu, Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) menerapkan pendekatan yang berbeda. FBE mewajibkan seluruh mahasiswa baru, baik dari jalur reguler maupun IP, untuk mengikuti College Placement Test (CPT). Jika mahasiswa memperoleh nilai tinggi, pihak fakultas langsung merekomendasikan mereka untuk masuk ke program internasional. Dengan sistem ini, FBE menempatkan mahasiswa sesuai dengan kemampuannya, sehingga masalah seperti yang terjadi di FH jarang muncul.
Namun, kebijakan perpindahan tidak berlaku seragam di semua program studi. “Untuk Akuntansi, mahasiswa tidak bisa pindah ke IP setelah semester dua. Kalau tetap ingin masuk, ya harus keluar dari kampus dulu dan daftar ulang di tahun berikutnya,” jelas Sena (nama samaran) selaku mahasiswi FBE.
Sementara untuk jurusan lain, seperti Manajemen, FBE memberikan kelonggaran. “Kalau di Manajemen, mahasiswa bisa pindah kapan saja.” tambahnya.
Kendati sistemnya berbeda, baik FH maupun FBE sepakat bahwa Program Internasional harus menjadi sarana mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan global. “Yang terpenting adalah lulusan kami, baik dari FH maupun FBE, mampu bersaing di dunia kerja internasional,” tegas Budi.
Dodik, menambahkan bahwa kemampuan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, menjadi nilai tambah penting bagi lulusan. “Saat ini, perusahaan-perusahaan top lebih membuka peluang bagi lulusan yang memiliki kemampuan bahasa asing,” ujarnya. Berbagai program seperti kelas internasional, guest lecturer, dan summer program sengaja dirancang untuk memperluas wawasan dan jejaring mahasiswa.
Peran IP dalam mendorong internasionalisasi kampus semakin dikuatkan melalui kerja sama akademik global, termasuk dengan rencana implementasi double degree bersama mitra luar negeri. Sulitnya perpindahan dari IP ke reguler mencerminkan komitmen untuk menjaga integritas akademik sekaligus mewujudkan visi internasional. Meski dinilai mengekang, kebijakan ini diharapkan mampu melahirkan lulusan yang tangguh dan siap bersaing di tingkat global.
Pronunciation Berantakan, Penyampaian Materi Kurang Jelas.
Belajar bersama dosen asing menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa IP. Namun, ekspektasi tersebut tidak selalu sesuai kenyataan. Kelly (nama samaran), mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah satu pengajar internasional. “Bayar Rp10.000.000 tuition fee, tetapi dosen asingnya bahasa Inggrisnya kurang, materinya juga mirip-mirip sama kelas reguler,” keluhnya.
Meski dosen tersebut mengantongi gelar doktor dan pengalaman internasional, metode pengajarannya dinilai kurang efektif. “Pronunciation-nya kurang baik, penyampaiannya sulit dipahami. Ini membuat kendala di kelas,” tambah Kelly. Kekecewaan ini mencuat karena sebelumnya pihak kampus menjanjikan kualitas pengajar internasional yang mumpuni.
Budi Agus menegaskan bahwa seluruh dosen telah melalui proses seleksi yang ketat dan memenuhi kualifikasi. Dodik juga menyampaikan bahwa dirinya turun langsung setelah menerima laporan dari perwakilan mahasiswa. “Saya langsung masuk ke kelas karena mereka melaporkan adanya masalah,” ujarnya.
Namun, hasil observasi tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan keluhan mahasiswa. “Saya bilang kepada dosen asing itu, ‘Kelasmu bagus, aku harus belajar dari kamu.’ Anak-anak di sana langsung menunduk semua,” kata Dodik, menggambarkan respons para mahasiswa di kelas.
Kendati demikian, Dodik mengaku akan terus mengevaluasi metode pengajaran para dosen dan menyusun program peningkatan kualitas. “Kami tidak menutup mata atas kritik ini. Ke depan akan ada pembenahan sistem dan pendampingan yang lebih intensif untuk para dosen, terutama dalam hal komunikasi akademik dan penyampaian materi,” tutupnya.
IP membawa visi global yang ambisius. Namun, berbagai evaluasi tetap diperlukan, mulai dari transparansi, kualitas pengajaran, hingga fleksibilitas akademik. Fakultas diharapkan lebih terbuka dalam menjelaskan kondisi riil di lapangan, agar ekspektasi mahasiswa tetap realistis. Di sisi lain, kontribusi aktif mahasiswa dalam perbaikan program juga menjadi kunci. Sebab, untuk mencapai tujuan bersama, dibutuhkan kerja sama dari kedua belah pihak.
Liputan bersama: Zaki Syahputra, Divantara Krisna Aji, Asa Fadilah Ginting, Trissyiva Perwita Maharani.