Panggung menjadi ruang sunyi yang bersuara lantang. Dalam pementasan bertajuk “Keranda Kematian”, FH UII menghadirkan kritik sosial yang menyayat, dibungkus dalam seni drama kolosal tiga dimensi.
Yogyakarta – Keadilan. Auditorium Abdul Kahar Mudzakir hari itu menjadi saksi bisu dari pertunjukan yang tak hanya menyentuh perasaan, tetapi juga membangkitkan kesadaran. Dalam rangka Milad Universitas Islam Indonesia (UII) tahun 2025 yang mengangkat tema UII Mengerti Bumi, Fakultas Hukum (FH) UII menyuguhkan sebuah pementasan seni drama tiga dimensi bertajuk Keranda Kematian sebuah karya kolaboratif yang menyatukan kekuatan dosen, tenaga kependidikan (tendik), dan mahasiswa.
Pertunjukan ini menjadi salah satu sorotan utama dalam rangkaian perlombaan pentas seni antar fakultas, rektorat, dan badan wakaf. Dengan mengusung pesan lingkungan yang kuat, Keranda Kematian, tidak hanya menjadi ekspresi artistik, melainkan juga kritik sosial yang tersirat namun tegas. Sutradara sekaligus penulis naskah, Ahmad Sadzali, menyampaikan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan interpretasi kreatif atas kondisi faktual Indonesia, utamanya eksploitasi alam dan persekongkolan kuasa atas nama pembangunan.
Ahmad Sadzali, dosen, pemeran, sekaligus sutradara pementasan, menyebutkan bahwa Keranda Kematian merupakan bentuk interpretasi kreatif atas kondisi faktual Indonesia. “Cerita ini fiktif, tapi terinspirasi dari kenyataan. Kita mengangkat soal eksploitasi sumber daya dan persekongkolan penguasa dengan pemodal,” ujarnya. Meski tidak menyebutkan secara eksplisit, narasi pertunjukan ini menyinggung proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang dianggap merampas ruang hidup masyarakat adat.
Cerita berlatar masyarakat adat yang tinggal di tengah hutan. Mereka harus menghadapi kekuatan “sembilan cacing”, yaitu sembilan tokoh oligarki yang melambangkan kerakusan modal. Nama-nama fiktif seperti Neosantara dan Mantankali digunakan sebagai plesetan dari Nusantara dan Kalimantan, memperkuat sisi alegoris cerita.
Pemilihan judul Keranda Kematian bukan tanpa alasan. Menurut sutradara Ahmad Sadzali, simbol keranda sengaja dipilih karena memuat banyak lapisan makna. Secara visual, keranda dianggap kuat dan menarik perhatian, sekaligus memunculkan rasa misteri agar penonton terdorong untuk berpikir lebih dalam. Dua keranda yang ditampilkan dalam pementasan masing-masing merepresentasikan kematian rakyat di bawah rezim yang menindas, serta kematian alam akibat keserakahan penguasa atas nama ekonomi. “Kami juga ingin mengingatkan bahwa sekuat apa pun orang berkuasa, mereka tetap akan mati,” ujarnya tegas.
Pertunjukan dimulai dengan tarian burung enggang yang menjadi simbol kedamaian antara manusia dan alam. Namun, suasana berubah drastis di penghujung acara saat tarian api muncul, menggambarkan kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Tarian ini dibawakan oleh mahasiswa, termasuk Mutiara Ulfa, manajer Sanggar Terpidana, yang turut berperan dalam penampilan tersebut. Mutiara menyatakan bahwa tarian ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa manusia adalah pihak yang membakar hutan dan merusak lingkungan.
Skenario disusun berdasarkan riset atas kisah nyata masyarakat Dayak yang terusir karena pembukaan lahan besar-besaran. Ayunita, dosen FH yang menjadi asisten sutradara, bercerita bahwa naskah lahir dari pembacaan jurnal dan kisah lisan. “Sebenarnya kisahnya panjang, tapi kami padatkan menjadi dua menit tiga puluh detik,” jelasnya.
Tahun ini, FH memilih mengusung drama kombinasi untuk menyesuaikan potensi para pemain. Ahmad Sadzali menyebutkan bahwa semua pihak, mulai dari mahasiswa hingga tenaga kependidikan (tendik), dilibatkan sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Di antara pemain, Mukmin Zakie, dosen FH yang berperan sebagai demonstran, mengungkapkan bahwa ia merasa sangat terpengaruh setiap kali berlatih. Menurutnya, cerita yang dibawakan terasa sangat relevan dengan kenyataan, terutama pada bagian akhir yang menggambarkan kekalahan mereka, yang menurutnya mencerminkan kenyataan bahwa pemegang kebijakan sering kali lebih memilih untuk bersekongkol dengan penguasa.
Meski tampil memukau, pertunjukan kolosal ini tak lepas dari tantangan, terutama soal waktu dan koordinasi. Dengan jumlah pemain mencapai 72 orang, latihan secara lengkap nyaris mustahil dilakukan. Ahmad Sadzali menyebutkan bahwa tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah keterbatasan waktu. Meskipun demikian, berkat komitmen yang sudah ada, latihan tetap berjalan meskipun hanya dilakukan secara seadanya.
Hal serupa disampaikan oleh Hasbi, staf perbekalan FH UII, yang juga terlibat dalam produksi. Ia mengakui bahwa waktu yang sangat singkat dan padatnya kegiatan fakultas menjadi beban tersendiri bagi para kru. “SDM terbatas, kegiatan fakultas banyak, jadi tenaga dan pikiran terkuras,” ungkapnya.
Semua kerja keras itu terbayar. FH UII berhasil meraih Juara 2 serta juara kategori Harmonisasi dan Kekompakan Terbaik. Rektor UII, Fathul Wahid, mengapresiasi pementasan ini. Menurutnya, seni bisa mencairkan batas hierarki dan membuka ruang komunikasi yang lebih egaliter. Mahasiswa juga menunjukkan antusiasme tinggi. Rendy Ramadhan dari FH mengatakan, “Saya nggak bisa bedain mana dosen mana mahasiswa. Di atas panggung, semuanya jadi satu tubuh yang utuh.”
Keranda Kematian bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan cerminan atas kondisi bumi yang kian terpuruk dan ketimpangan sosial yang terus terjadi. Tarian api di penghujung pementasan menjadi simbol kuat akan kehancuran yang timbul akibat keserakahan manusia. Bagi Ahmad Sadzali, makna simbol api tersebut tak hanya menggambarkan kebakaran hutan, tetapi juga merepresentasikan bahwa sekuat apa pun seseorang yang berbuat zalim, pada akhirnya tetap akan mendapat balasan yang setimpal.
Pertunjukan ditutup dengan narasi yang menyiratkan pesan harapan: bahwa di tengah penindasan dan keterbungkaman, manusia selalu memiliki ruang untuk mengadu kepada Tuhan dan jangan berputus asa.
Liputan bersama-sama: Sri Indah Lestari, Khrisna Adam Yustisio, Enelis Aulia Zahwa, Titis Bekti Purwitas, Trissyiva Perwita Maharani, Sabri Khatami Chan, Dewi Rahmawati, Salsabiela Dhiya Amanda, dan Asa Fadhilah Ginting.