Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, tetapi cerminan krisis yang dihadapi banyak orang. Dari sulitnya mencari pekerjaan, tekanan akademik, ketidakpastian politik, hingga masalah kesehatan mental—semuanya membuat generasi muda merasa negeri ini tak lagi memberi mereka ruang untuk bertahan.
Tagar #KaburAjaDulu: Cerminan Frustasi Sosial di Tahun 2025
Di tengah ketidakpastian yang semakin menghantui kehidupan masyarakat, muncul sebuah fenomena yang ramai diperbincangkan di media sosial: #KaburAjaDulu. Sekilas, ini terdengar seperti ungkapan santai untuk sejenak melepas penat. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, tagar ini sebenarnya menggambarkan rasa kekecewaan dan kelelahan generasi muda terhadap realitas sosial yang semakin menyesakkan.
Tahun 2025, tekanan hidup semakin nyata. Harga kebutuhan pokok terus melambung, lapangan pekerjaan semakin sulit dijangkau, kondisi politik pasca Pemilu 2024 penuh dengan ketidakpastian, dan krisis kesehatan mental semakin meluas. Dalam situasi seperti ini, banyak yang merasa kehilangan harapan.
Bagi sebagian orang, “kabur” berarti meninggalkan pekerjaan yang hanya menguras tenaga tanpa kesejahteraan yang layak. Bagi yang lain, itu berarti memilih untuk tidak lagi peduli terhadap hiruk-pikuk sosial dan politik yang terasa semakin penuh kebohongan dan ketidakadilan. Sementara bagi sebagian lagi, “kabur” berarti benar-benar meninggalkan negeri ini, mencoba mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana.
Fenomena ini bukan sekadar tren digital yang viral sesaat. Ini adalah refleksi dari masalah struktural yang selama ini diabaikan. Jika generasi muda, yang seharusnya menjadi pilar utama pembangunan bangsa, justru lebih memilih untuk “kabur” daripada bertahan dan berjuang, maka ada yang harus diperbaiki dalam sistem kita.
Antara Pilihan dan Keterpaksaan
Di balik setiap keputusan untuk “kabur”, tersimpan dilema yang tidak sederhana: apakah ini benar-benar pilihan, atau justru keterpaksaan? Banyak tenaga kerja muda yang memilih untuk bermigrasi ke luar negeri bukan karena mereka tidak mencintai tanah air, tetapi karena kondisi ekonomi di dalam negeri tidak memberikan mereka cukup alasan untuk bertahan. Upah yang tidak sebanding dengan biaya hidup, minimnya jaminan kesejahteraan, serta tekanan kerja yang semakin berat, keputusan untuk bekerja di luar negeri menjadi lebih rasional dibandingkan bertahan dalam kondisi yang stagnan. Fenomena brain drain pun semakin tak terhindarkan, di mana talenta terbaik bangsa justru berkontribusi untuk kemajuan negara lain.
Di dunia akademik, tekanan tak kalah berat. Sistem pendidikan yang menuntut tanpa memberi dukungan membuat banyak mahasiswa kewalahan. Kurangnya perhatian terhadap kesehatan mental, ketatnya persaingan akademik, dan bayang-bayang masa depan yang tak menentu membuat sebagian memilih cuti, bahkan putus studi. Mereka tak lagi merasa sistem ini berpihak, seolah bertahan hanya memperpanjang penderitaan yang tak perlu.
Dilansir dari ugm.ac.id, Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hempri Suyatna, menilai fenomena tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk sikap kritis dan sindiran generasi muda terhadap kondisi sosial politik di Indonesia. Menurutnya, negara dianggap “kurang hadir” dalam menyelesaikan persoalan masyarakat, terutama ketidakpastian di sektor pendidikan akibat efisiensi anggaran yang justru mengancam masa depan anak muda. Situasi inilah yang mendorong banyak dari mereka untuk mencari peluang di luar negeri, baik dalam hal studi maupun pekerjaan. Jika pemerintah tidak segera membenahi kondisi ini dengan kebijakan yang lebih berpihak kepada generasi muda, tren ini bisa semakin meluas dan berisiko membuat Indonesia kehilangan banyak talenta terbaiknya.
Di sisi lain, dalam kehidupan sosial dan politik, fenomena “kabur” juga semakin nyata. Masyarakat semakin terpecah, janji-janji politik sering kali hanya menjadi kata-kata tanpa realisasi, dan arah kebijakan pemerintah terasa kabur. Akibatnya, banyak anak muda menjadi apatis. Mereka merasa bahwa suara mereka tidak didengar dan perjuangan mereka tidak menghasilkan perubahan. Daripada terus mencoba memperbaiki keadaan yang terasa tidak memberikan harapan, mereka lebih memilih untuk menarik diri dan fokus pada kehidupan pribadi mereka sendiri.
Jika semakin banyak orang yang merasa bahwa “kabur” adalah satu-satunya jalan keluar, maka pertanyaannya bukan lagi tentang mengapa mereka memilih untuk pergi, tetapi tentang apa yang salah dengan sistem yang seharusnya membuat mereka ingin bertahan?
Ketika Generasi Muda Pergi, Apa yang Bisa Kita Perbaiki?
Fenomena #KaburAjaDulu seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Tagar ini merupakan sebuah refleksi nyata dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi yang ada. Jika semakin banyak anak muda merasa tidak memiliki masa depan di negeri ini, lalu siapa yang akan membangun bangsa? Jika semakin banyak yang memilih diam dan tidak peduli, bagaimana mungkin perubahan dapat terjadi?
Sayangnya, alih-alih mencari solusi, masih banyak pihak yang justru menyalahkan individu yang memilih untuk “kabur.” Mereka dianggap sebagai generasi yang tidak tahan tekanan, terlalu manja, dan tidak mau berjuang. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Melarikan diri bukan selalu berarti menyerah, tetapi bisa jadi itu adalah respons terhadap sistem yang gagal memberikan mereka ruang untuk berkembang dan bertahan.
Jika kita sungguh ingin menangani fenomena ini secara serius, maka yang perlu dilakukan bukanlah sekadar menghakimi mereka yang “kabur”, tetapi bertanya: apa yang bisa kita perbaiki?
Adapun cara untuk mengatasi tren #KaburAjaDulu, diperlukan langkah nyata dari pemerintah dan berbagai pihak terkait. Salah satu yang paling mendesak adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja agar anak muda tidak merasa harus mencari peluang di luar negeri. Selain itu, apresiasi terhadap tenaga profesional juga harus ditingkatkan bukan hanya dalam bentuk gaji yang layak, tetapi juga lewat insentif dan kesempatan berkembang yang jelas.
Di sisi lain, anak muda butuh ruang untuk tumbuh dan berkontribusi. Program pelatihan, beasiswa, serta kebijakan yang memberi mereka peran lebih besar dalam pembangunan nasional harus diperbanyak. Tak kalah penting, pemerintah juga perlu menjaga stabilitas ekonomi dan menekan biaya hidup. Jika harga kebutuhan pokok terus melambung tanpa diimbangi kebijakan yang berpihak pada rakyat, tak heran jika banyak yang memilih pergi.
Kalau semua hal ini bisa dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin anak muda akan melihat masa depan yang lebih menjanjikan di negeri sendiri tanpa harus berpikir untuk “kabur” ke tempat lain.
Saatnya Berhenti Menutup Mata
Melarikan diri bukanlah keinginan, tetapi terkadang menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Banyak dari mereka yang akhirnya pergi bukan karena tidak cinta pada negeri ini, tetapi karena merasa tidak lagi memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang. Di titik itulah, #KaburAjaDulu bukan sekadar pelarian, melainkan jeritan sunyi dari mereka yang merasa tidak didengar.
Kita tidak bisa terus-menerus mengabaikan realitas ini dan menganggapnya sebagai masalah individu belaka. Menyalahkan mereka yang memilih pergi justru menunjukkan bahwa kita enggan melihat akar persoalan yang lebih dalam. Sudah saatnya kita menengok ke dalam, mengevaluasi sistem yang ada, dan bertanya: apakah negara ini telah benar-benat memberi ruang dan dukungan bagi anak mudanya untuk berkembang?
Alih-alih menuntut mereka untuk bertahan, mari kita mulai dengan menciptakan alasan bagi mereka untuk tetap tinggal. Memberikan rasa aman, membuka peluang, dan membangun sistem yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan adalah langkah nyata yang harus segera dilakukan.