Sore itu, langit mulai meredup, angin sepoi-sepoi berhembus lembut di antara hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di Jalan Kaliurang KM 14. Pada bulan Ramadhan seperti ini, kawasan Boulevard Universitas Islam Indonesia (UII) selalu ramai oleh pemburu takjil, termasuk aku, Dewi Rahmawati, dan, temanku, Nadirah Naurah yang sedang ngabuburit mencari hidangan berbuka.
Kami menyusuri jalan dengan santai, sesekali berhenti saat melihat jajanan yang menarik perhatian. Berbagai macam takjil tersedia di sini, seperti es buah, gorengan, buah segar, kolak, dan masih banyak lagi. Para pedagang tak henti-hentinya menawarkan dagangan mereka dengan ramah.
“Monggo, Mbak, gorengannya!” seru seorang pedagang sembari tersenyum ramah.
“Es buahnya, Mbak! Segar, lho!” kata yang lain, menggoyang-goyangkan gelas plastik berisi potongan buah warna-warni.
“Mari, Mbak, kolak pisangnya! Manis dan masih hangat!” tambah seorang ibu pedagang dengan suara antusias.
Setelah berjalan sekitar lima belas menit, mata kami tertuju pada satu lapak es teler yang terlihat sangat segar. Gelas plastiknya penuh dengan potongan buah, jelly berwarna-warni, dan beragam topping yang bisa dipilih sesuai selera. Antreannya cukup panjang, tapi hal itu tidak menyurutkan niat kami. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya kami mendapatkan dua gelas es teler dengan harga lima belas ribu rupiah per gelas.
Kami melanjutkan pencarian takjil lainnya. Kali ini, kami menyeberang jalan dengan hati-hati karena lalu lintas cukup ramai. Di seberang, sebuah lapak sederhana menjual aneka jajanan pasar lemper ayam, pastel renyah berisi bihun dan wortel, serta risol dengan isian ragout lembut. Kami membeli beberapa untuk melengkapi hidangan berbuka. Harganya cukup terjangkau, hanya dua ribu rupiah per buah.
Waktu menunjukkan pukul 17.00. Perbekalan berbuka sudah cukup. Setelah berkeliling sebentar, akhirnya kami menemukan tempat lesehan kosong di area Boulevard UII. Tanpa ragu, kami segera menempatinya. Suasana semakin ramai. Mahasiswa dan warga sekitar duduk membentuk lingkaran-lingkaran kecil, bercengkrama sambil menunggu waktu berbuka. Keramaian ini mengingatkan kami pada suasana alun-alun kota hidup, hangat, dan penuh semangat Ramadhan. Sepanjang jalan, mobil dan motor terparkir rapi.
Waktu berbuka masih cukup lama. Untuk mengisi waktu, kami mengobrol, bertukar cerita, dan sesekali mengabadikan momen dengan kamera ponsel. Senja perlahan turun, langit berubah warna menjadi perpaduan jingga matang dan biru tua, berpadu dengan cahaya lampu neon yang mulai menyala.
“Terima kasih, Ya Allah,” batinku. “Atas segala nikmat dan rahmat-Mu, kami masih diberi kesempatan melihat langit seindah ini, menyaksikan senja yang perlahan tenggelam, membawa kami lebih dekat ke waktu berbuka” lanjutku.
Akhirnya, suara yang kami tunggu-tunggu pun berkumandang. Lantunan adzan magrib menggema di udara. Kami segera berbuka dengan jajanan yang telah kami beli. Satu per satu, makanan itu masuk ke mulut, menghilangkan dahaga serta rasa lapar yang menemani sepanjang hari.
Kami tidak berlama-lama di area Boulevard. Setelah merasa cukup menikmati hidangan berbuka, kami segera merapikan barang bawaan. Ada kewajiban lain yang menanti salat magrib. Namun, sebelum pergi, sesuatu menarik perhatian kami tumpukan sampah plastik bekas bungkusan takjil berserakan begitu saja. Seolah-olah ditinggalkan tanpa rasa tanggung jawab.
“Apa yang sebenarnya ada di pikiran mereka saat membiarkan sampahnya begitu saja?” gumamku dalam hati. Padahal, larangan membuang sampah sembarangan. Sudah jelas terpampang. Kampus pun telah menyediakan tempat sampah di beberapa titik. Jikalau pun tempat sampah terasa jauh, bukankah lebih bijak membawa sampahnya terlebih dahulu, lalu membuangnya di tempat yang semestinya?
Tapi mungkin, di benak mereka, hanya ada satu pemikiran “Sudah, biarkan saja. Nanti juga ada petugas kebersihan yang membersihkan.”
~
Keesokan paginya, selepas salat Subuh, aku dan Fyen Irzy Damaiansyah berjalan santai mengitari kawasan kampus UII yang asri. Udara pagi terasa sejuk, dan cahaya fajar menyelinap di antara dedaunan, menciptakan siluet keemasan di sepanjang jalan. Langkah kami ringan, menikmati pagi yang begitu tenang.
Saat melewati area Boulevard, mata kami menangkap pemandangan yang mengusik hati. Beberapa petugas kebersihan sedang bertugas, menyapu sisa-sisa sampah yang berserakan sejak malam sebelumnya. Pemandangan ini membawa ingatan kami kembali ke kejadian semalam. Tanpa banyak bicara, kami saling bertukar pandang, lalu berinisiatif menghampiri salah satu petugas.
Seorang ibu paruh baya tampak tengah menyapu dengan tekun. Rambutnya sebagian telah memutih, kulitnya dipenuhi garis-garis usia, namun senyumnya tetap hangat. Kami memperkenalkan diri, begitu pula beliau. Namanya, Bu Tutik.
“Bu, izin bertanya, sampah yang berserakan di sepanjang Boulevard itu benar karena ditinggal pemiliknya?” tanyaku dengan nada hati-hati.
Ibu itu terdiam sejenak, menarik napas dalam sebelum menjawab, “Benar. Hampir setiap hari kami menemukan sampah berserakan di mana-mana.”
Aku dan Fyen saling pandang. Ada rasa sesak mendengar jawabannya.
“Jadi, kejadian ini terus berulang setiap tahunnya, Bu?” tanyaku lagi, memastikan.
Bu Tutik mengangguk pelan. “Betul. Hal ini memang biasa terjadi dari tahun ke tahun. Tetapi, nggak apa-apa, memang tugas kami untuk membersihkannya.”
Kami terdiam sejenak, mencerna perkataan beliau. Memang, membersihkan sampah adalah tugas mereka, tetapi bukankah lebih baik jika kita tidak menambah beban mereka? Toh, kita tak akan rugi hanya dengan membuang sampah pada tempatnya.
Kami pun melanjutkan perbincangan dengan santai. Sebelum berpamitan, kami menanyakan apakah beliau memiliki pesan untuk para pengunjung Boulevard.
“Tolong dibiasakan untuk buang sampah pada tempat yang sudah disediakan, semisal di dekatnya nggak ada, mohon maaf mungkin bisa dibawa dulu sampai menemukan tong sampah yang tersedia.” ujar Bu Tutik dengan senyum terukir di bibirnya.
Kami membalas senyum beliau, mengucapkan terima kasih, lalu melangkah pergi. Namun, percakapan itu terus terngiang di kepala kami.
Tak lama setelah meninggalkan Bu Tutik, kami berpapasan dengan salah satu teman kami, Nazib Azzami. Aku segera melambaikan tangan, dan ia membalas sapaanku dengan ramah.
Kami berbincang sejenak, masih menikmati udara pagi yang segar. Namun, obrolan kami tak bisa lepas dari isu sampah yang baru saja kami bahas.
“Jujur, aku merasa miris tentang kejadian ini, di sini merupakan perguruan tinggi yang di dalamnya berisi mahasiswa bukan siswa lagi. Jadi, seharusnya kesadaran untuk buang sampah yang benar sudah lebih dari siswa itu sendiri” ujar Azzam.
Aku mengangguk setuju. “Betul, aku sendiri juga berpikir seperti itu, padahal sudah ada aturan jelas buat ga buang sampah sembarangan tapi masih aja yang bandel”
Fyen yang sejak tadi menyimak akhirnya bertanya, “Menurutmu, Zam, pihak kampus seharusnya bagaimana menyikapi ini?”
Azzam berpikir sejenak sebelum menjawab, “Hmm.. Menurutku, aturannya harus lebih tegas. Mungkin ada sistem denda atau hukuman bagi yang melanggar.”
Aku menimpali, “Bisa saja, sih, tapi sulit kalau harus mengawasi kampus ini selama 24 jam penuh.”
Fyen menghela napas. “Berarti memang manusia-manusianya yang harus lebih sadar dan mau mendidik diri sendiri.”
Kami semua terdiam sejenak, merenungkan percakapan yang baru saja terjadi.
Sebenarnya, menjaga kebersihan bukanlah tugas segelintir orang saja. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Jika kita terus membuang sampah sembarangan, berapa banyak makhluk hidup yang akan terdampak? Bukan hanya lingkungan, kita sendiri pun bisa merasakan akibat buruknya.
Sebaliknya, coba bayangkan jika kita semua menjaga kebersihan. Bukankah lingkungan akan lebih nyaman? Bukankah kita sendiri yang akan menikmati manfaatnya?