Kembalinya militer ke ranah sipil mencerminkan pola lama yang pernah membawa kehancuran. Sejarah mencatat bahwa dominasi militer kerap melahirkan kekerasan yang tak termaafkan dan Indonesia telah menjadi saksi dari luka mendalam yang ditinggalkannya.
Seratus hari pertama di bawah rezim Wowo-Prabowo telah berlalu, kita seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Kita dipaksa menelan kenyataan pahit yang dibungkus janji manis, sehingga kini terasa seperti ironi. Sebagai bangsa, entah karena sudah terlalu kebal atau hanya pasrah, kita terus menjadi saksi dari janji-janji politik yang terus terlontar tanpa kendali. Harapan yang semula digembar-gemborkan berubah menjadi kekecewaan. Janji perubahan yang begitu menggairahkan justru menghasilkan penderitaan yang tak kunjung usai.
Seratus hari berlalu, kita hanya menjadi penonton dari deretan absurditas yang mereka sebut sebagai Kabinet Merah Putih. Namun, kali ini kita tidak berbicara tentang kebijakan makan siang gratis yang menyedot anggaran hingga triliunan rupiah. Ada hal lain yang patut menjadi sorotan: pengangkatan ratusan perwira militer aktif untuk menduduki posisi strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Salah satunya adalah penunjukan seorang Mayor Jenderal sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog, sebagaimana dilaporkan dalam majalah Tempo edisi 2–9 Maret.
Langkah penarikan tentara ke ranah sipil, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat pembangunan Indonesia, justru menyisakan berbagai masalah. Pertama, kebijakan ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan berpotensi merusak keseimbangan dalam tatanan demokrasi. Kedua, kebijakan ini mengabaikan kontrak sosial yang dibangun pada era reformasi. Pada masa itu, masyarakat berharap agar peran tentara dalam kehidupan sipil semakin berkurang, dan kekuasaan politik semakin dijauhkan dari dominasi militer.
Pemisahan Militer dan Sipil dalam Demokrasi
Dalam tatanan demokrasi, pemisahan antara militer dan sipil sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga. Negara, sebagai organisasi sosial terbesar dalam masyarakat, memiliki kewajiban utama untuk melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan serta menjamin hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, negara diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjalankan kewajiban tersebut.
Tujuan negara adalah mengkonsolidasikan kepentingan bersama di kalangan masyarakat secara umum. Segala bentuk kontribusi masyarakat, seperti membayar pajak atau kepatuhan terhadap hukum negara, dapat diukur dari sejauh mana masyarakat merasakan hak-haknya terlindungi dan terpenuhi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kepemimpinan sipil diberikan kepercayaan oleh rakyat sebagai nahkoda kapal besar bernama negara, yang bertugas mengatur kebijakan, menata hukum, dan memastikan roda demokrasi terus berputar.
Di sisi lain, negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan. Posisi militer dalam sebuah negara seharusnya difokuskan pada tugas pokoknya, yaitu meminimalkan ancaman dan gangguan eksternal. Peran ini menjadi kewajiban utama dari institusi militer sebagai pelindung negara.
Dengan demikian, militer atau angkatan bersenjata merupakan institusi sah dalam organisasi negara yang memiliki fungsi utama melindungi masyarakat dari ancaman fisik. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Edward Luttwak dalam bukunya Coup d’Etat: A Practical Handbook, di mana ia menyatakan bahwa “The government is not only protected by the state’s professional defense apparatus the army, the police, and the security services but is also supported by broader political forces. In complex, democratic societies, these forces include political parties, interest groups, and regional, ethnic, and religious groups. The interaction of these forces and any opposition that exists produces a balance of power against the government.” (Luttwak, 1968).
Dari sini, dapat dipahami bahwa institusi sipil dan militer dalam suatu negara memiliki batasan dan tanggung jawab yang berbeda. Namun, ketika garis pemisah antara keduanya menjadi kabur, militer dapat merambah ke ranah sipil. Hal ini memiliki konsekuensi sejarah yang serius.
Di Indonesia, dominasi militer pernah terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menggunakan doktrin dwifungsi untuk memperluas pengaruhnya di kehidupan sipil. Fenomena serupa juga terjadi di Myanmar (dahulu Burma), di mana junta militer yang berkuasa telah lama menindas demokrasi dan membuat negara tersebut dicap sebagai paria dalam tatanan global.
Tanpa pemisahan yang tegas antara institusi sipil dan militer, demokrasi berada dalam posisi rentan terhadap dominasi militer. Ketidakseimbangan ini tidak hanya mengancam prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan tetapi juga berpotensi mengikis nilai-nilai demokrasi yang sejatinya harus dijunjung tinggi.
Prabowo dan Militerisasi Kebijakan: Orde Baru dalam Wajah Baru
Langkah Prabowo yang perlahan-lahan membawa militer ke sektor di luar tugas mereka memicu sebuah pertanyaan mendalam, apakah Prabowo lupa pada sejarah reformasi yang berusaha menghapus dominasi militer dalam kehidupan sipil ataukah dengan sengaja ia mengabaikannya?
Ketika masyarakat sipil berjuang menurunkan Soeharto di era Orde Baru hingga melahirkan reformasi, salah satu syarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi adalah dengan menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Alasan kuatnya tercantum dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri, yang menyatakan “Peran sosial politik dalam Dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.” Serupa dengan yang dituliskan Daniel S. Lev dalam jurnalnya ABRI dan Politik: “Dwifungsi ABRI bukan saja memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.”
Dominasi militer di masa itu membawa dampak buruk, terutama kecenderungan bertindak represif yang mengakibatkan ribuan nyawa tak berdosa hilang. Tragedi Trisakti, di mana empat nyawa mahasiswa melayang dalam dekapan peluru aparat, disusul Semanggi I dan Semanggi II, menyisakan duka mendalam dengan puluhan korban jiwa, termasuk Wawan, yang hari ini kita kenang melalui suara pilu Ibu Sumarsih di aksi Kamisan. Tidak lupa juga dengan Tragedi Tanjung Priok yang menambah deretan luka dalam sejarah, dengan 79 korban jiwa, 53 diantaranya menderita luka, sementara sisanya meregang nyawa dalam kekejaman yang tak termaafkan.
Munir, sosok pembela hak asasi manusia, tak pernah tiba tujuannya di Belanda. Di tengah udara Eropa yang dingin, nyawanya direnggut secara keji oleh racun arsenik yang diselipkan dalam segelas jus jeruk. Wiji Thukul, sang penyair perlawanan, lenyap tanpa jejak, meninggalkan deretan sajak yang hingga kini masih menggema. Pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), kerusuhan Ambon, dan tragedi lainnya berkelindan dengan peran ABRI. Tak sedikit dari kasus-kasus tragis itu berada di bawah komando Prabowo. Hal ini semakin menegaskan kecurigaan bahwa Prabowo menutup mata terhadap sejarah kelam Indonesia dengan kembali membuka jalan bagi militer untuk masuk ke ranah sipil. Jika benar demikian, ini sama saja dengan Prabowo mencabut pisau dan menusukan kembali ke jantung demokrasi.
Prabowo tampaknya memiliki kecenderungan untuk mengandalkan militer sebagai solusi atas berbagai permasalahan bangsa. Namun, memasukkan militer ke dalam ranah sipil justru berpotensi menghambat perkembangan demokrasi. Langkah ini tidak hanya membuka kembali ruang bagi pengaruh Orde Baru yang selama ini disegel, tetapi juga memperburuk keadaan dengan mendorong militer kembali mengejar kekuasaan.
Alih-alih memberikan kewenangan ganda kepada militer, langkah yang lebih tepat adalah memastikan pemisahan yang jelas antara institusi militer dan sipil. Jika tidak, akan terjadi tarik-menarik kekuasaan antara kedua pihak yang berisiko menciptakan dualisme antara kekuatan bersenjata dan pemerintahan sipil. Situasi ini dapat menimbulkan kompleksitas yang sulit dipecahkan, mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pemerintahan sipil memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Selain itu, masyarakat cenderung lebih mempercayai kepemimpinan sipil di lini depan pemerintahan dibandingkan dengan militer. Hal ini tidak terlepas dari budaya militeristik yang seringkali diidentikkan dengan pendekatan represif dan kekerasan.