“Di dunia ini, hanya satu orang yang berhak menyuruh kita membuka dan menutup mulut: dokter gigi. Bukan penguasa.” Ujar Yosep, Mahasiswa Sanata Dharma.
Yogyakarta–Keadilan. Sore itu, rintihan hujan jatuh perlahan, membasahi aspal yang telah lebih dulu dipanaskan oleh pekik perlawanan pada Kamis (27/3/2025). Persimpangan jalan di titik nol kilometer Yogyakarta berubah menjadi lautan manusia. Ratusan massa berkumpul membanjiri ruas jalan, diantara riuh suara demonstran, satu teriakan menggema lebih lantang dari yang lain. “Tolak RUU TNI!” seru seorang demonstran, suaranya bergetar penuh amarah. Dengan tangan mengepal ke udara, ia melanjutkan, “Mari pukul TNI ke barak!” Seruan itu tidak lain adalah luapan kekecewaan dan protes yang sudah lama mengendap terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aksi bertajuk “Negara Sedang Gawat” itu lahir dari keresahan kolektif terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai tergesa-gesa dan sarat kepentingan.
Mahasiswa, aktivis, masyarakat, suporter bola, hingga buruh berdiri bahu-membahu, membentuk satu gelombang besar perlawanan di tengah kota budaya ini. Beberapa demonstran mengenakan masker, bersiap menghadapi kemungkinan gas air mata yang bisa datang kapan saja. Di sudut-sudut jalan, tim paramedis dengan sigap memantau situasi, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di tengah jalannya aksi.
Belajar dari pengalaman sebelumnya pada Kamis (20/3/2025), aksi damai di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta berubah menjadi horor. Ratusan massa Organisasi Masyarakat (Ormas) bersenjata tajam meneror demonstran, menciptakan kepanikan. Jeritan ketakutan berpadu dengan suara bentrokan, diperparah oleh water cannon yang menggulung massa, memaksa mereka bubar dalam ketakutan. Namun kali ini, mereka datang lebih siap.
Yosep, mahasiswa Sanata Dharma yang turut serta dalam aksi, menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam kontestasi politik, terutama dengan menduduki jabatan sipil, merupakan ancaman serius. “Ketika rakyat mengkritik, yang mereka hadapi bukanlah argumen, melainkan moncong senjata yang siap dikokang di atas kepala,” ujarnya.
Pernyataan Yosep bukan sekadar retorika. Eskalasi kekerasan oleh aparat negara semakin memuncak, terutama sejak hari pertama disahkannya Revisi UU TNI. Di Jakarta, aparat langsung merespons protes dengan kekerasan, semprotan water cannon membuka jalan bagi hantaman pentungan. Sementara di Bandung, negara menggunakan tameng ormas untuk melegitimasi tindakan represif. Senjata tajam, balok kayu, hingga tembakan petasan digunakan untuk membungkam suara rakyat.
Respon penolakan juga disuarakan oleh Ghyy, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Papua, yang turut serta dalam aksi tersebut. Ia menyoroti situasi kekerasan yang terus berlangsung di Papua, dengan menegaskan bahwa “revisi ini tidak lagi sekadar dwifungsi tetapi telah berkembang menjadi multifungsi, Bahkan sebelum RUU TNI disahkan, Papua telah menghadapi berbagai problematika, mulai dari operasi militer yang berkepanjangan hingga ketidakjelasan penyelesaian hukum yang sesuai dengan aturan yang berlaku.” tegasnya.
Saat jarum jam menunjuk pukul lima sore, lantunan orasi politik dari berbagai kalangan mulai menggema, seorang perempuan melangkah maju. Dengan ekspresi penuh emosional, ia membacakan puisi yang sarat akan makna perlawanan. Terlebih dengan iringan pertunjukan teatrikal yang mempertegas pesan-pesan perjuangan. Suasana pun semakin larut dalam gelombang emosi, mengikat massa dalam satu rasa dan tujuan. Semangat semakin memuncak ketika vokalis Band KEPAL SPI mengambil alih panggung dengan membawakan lagu berjudul “Mengadu” sebuah lagu yang menggambarkan situasi aparat yang terus menimbun deretan catatan kekerasan.
Langkah-langkah massa aksi sejenak terhenti saat adzan maghrib berkumandang. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan, suasana berubah hangat ketika takjil berupa nasi kotak dibagikan. Sepiring kebersamaan, seteguk energi baru, menjadi pelepas lelah setelah seharian menyuarakan tuntutan. Usai berbuka, mereka bersujud dalam kebersamaan, melaksanakan shalat di sela-sela gelombang perlawanan. Namun, semangat tak mereda usai doa-doa dilangitkan, aksi kembali berlanjut, menyusuri malam dengan tekad yang tak goyah.
Hingga pukul sepuluh, gema tuntutan masih terdengar. Poster-poster berisi kritik terangkat tinggi, menyatu dengan suara demonstran yang membacakan pers rilis sebagai penutup aksi. Massa aksi perlahan membubarkan diri. Ketegangan sempat memuncak ketika beberapa oknum demonstran menyalakan petasan. Namun, tak lama kemudian, keadaan kembali terkendali. Asap tipis dari petasan memudar bersama langkah-langkah terakhir para demonstran yang beranjak pergi.
Catatan redaksi: Judul ini mengalami perubahan pada (29/3) diksi ‘Diujung’ menjadi ‘di Ujung‘.