Categories Opini

Problematika Kewajiban SKP Pilihan untuk Yudisium

Kampus perjuangan yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi mahasiswa untuk mengejar idealisme, berkreasi, dan berinovasi, kini terkungkung oleh aturan SKP Pilihan yang menghambat kebebasan mereka.

Unggahan instagram Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Universitas Islam Indonesia (UII) mengenai Satuan Kredit Partisipasi (SKP) Pilihan yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk lebih aktif menarik perhatian. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kampus masih memberlakukan kewajiban kehadiran minimal 75% di setiap mata kuliah? Bukankah kedua aturan tersebut saling tumpang tindih? Satu aturan memaksa mahasiswa untuk aktif di luar kelas dengan mewajibkan SKP Pilihan, aturan lainnya tetap memaksa mahasiswa untuk selalu hadir di kelas.

Tanya jawab yang berlangsung di kanal Instagram antara penulis dan pihak Advokasi LEM UII memutuskan untuk bertemu secara langsung agar dapat berbicara secara lebih interaktif. Dalam pertemuan tersebut, pihak Advokasi LEM UII dan Advokasi LEM Fakultas Hukum (FH) memberikan keterangan bahwa berlakunya ketentuan SKP Pilihan merujuk kepada Peraturan Rektor UII Nomor 7 Tahun 2024 yang menjadi dasar hukum bagi penerapan aturan SKP Pilihan.

Dalam Pasal 1 angka (9) dijelaskan bahwa Satuan Kredit Partisipasi adalah takaran penghargaan terhadap aktivitas non-kurikuler yang diikuti oleh mahasiswa dalam upaya memenuhi capaian pembelajaran yang ditunjukkan dengan satuan yang merupakan jumlah kumulatif dari intensitas kegiatan tersebut. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa aktivitas kemahasiswaan bagi setiap mahasiswa meliputi aktivitas kemahasiswaan wajib dan aktivitas kemahasiswaan pilihan. Aktivitas kemahasiswaan pilihan sebagaimana dimaksud adalah aktivitas mahasiswa yang wajib dipilih untuk diikuti atau dilaksanakan oleh mahasiswa sampai memenuhi bobot skp tertentu, begitu tertulis pada ayat (3). Dengan demikian, bentuknya sebagai aktivitas kemahasiswaan, bersifat wajib untuk dilaksanakan, dan terdapat ketentuan bobot yang harus dipenuhi.

Singkatnya, SKP Pilihan adalah satuan aktivitas kemahasiswaan yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa. Setiap kegiatan yang diikuti memiliki bobot tersendiri, mulai dari 1 – 3 SKP. Mahasiswa harus mengumpulkan minimal 10 SKP Pilihan dengan paling sedikit 3 bentuk kegiatan berbeda sebagai syarat kelulusan.

Diskriminasi Angkatan dalam Penerapan SKP Pilihan 

Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa SKP Pilihan bersifat “wajib.”  Namun, penerapannya tidak sepenuhnya seperti itu. Edaran pada Rabu,  (09/10/2024) kepada mahasiswa Fakultas Hukum UII menunjukkan adanya perbedaan ketentuan berdasarkan angkatan. Mahasiswa angkatan 2023 dan 2024 diwajibkan memenuhi SKP Pilihan sebagai syarat kelulusan.  Sementara itu, bagi mahasiswa angkatan 2021 dan 2022, SKP Pilihan dapat divalidasi untuk Surat Keterangan Pendamping Ijazah, tetapi bukan merupakan syarat kelulusan.  Dengan demikian, kewajiban SKP Pilihan hanya berlaku bagi mahasiswa angkatan 2023 dan 2024.

Perlunya Pendekatan yang Berbasis Fakultas

Peraturan Rektor tersebut menunjukkan bahwa kegiatan SKP Pilihan yang tersedia bersifat umum dan diterapkan ke seluruh fakultas. Akibatnya, pemenuhan bobot SKP Pilihan menjadi monoton dan tidak spesifik. Jika kampus ingin mendorong mahasiswa agar lebih aktif, kegiatan kemahasiswaan seharusnya dirancang berdasarkan karakteristik masing-masing fakultas. Di FH misalnya, mahasiswa mempelajari hukum, politik, dan sosial.  Mereka seringkali mengamati bagaimana kondisi sosial-politik dimanfaatkan penguasa untuk menindas rakyat dengan berlindung di balik hukum.

Kondisi ini bisa menjadi momentum bagi kampus untuk mendorong aktivitas mahasiswa di luar kelas. Inklusi kegiatan advokasi sosial atau demonstrasi dalam bobot SKP Pilihan dapat menjadi alternatif yang tepat. Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari di kelas, sesuai minat dan keahlian masing-masing, tanpa merasa terbebani. Dengan demikian, kegiatan SKP Pilihan menjadi lebih bermakna dan relevan dengan bidang studi mereka.

Kualifikasi pemberian poin yang tidak berkeadilan

Penerapan kegiatan yang disediakan dalam SKP Pilihan tidak memberikan keadilan. Pemberian poin dilakukan secara merata tanpa mempertimbangkan tingkat tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing individu. Misalnya, kegiatan organisasi tingkat fakultas diberikan bobot yang sama untuk semua jabatan. Dalam hal ini, ketua organisasi memiliki nilai tukar sertifikat yang setara dengan anggota organisasi. Hal ini sangat tidak adil, mengingat ketua organisasi memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anggota.

Sebagai solusi, SKP Pilihan seharusnya menetapkan bobot yang lebih rasional dan adil. Permasalahan ini tidak hanya terjadi pada pemberian poin untuk kegiatan organisasi, tetapi juga dalam penelitian, publikasi, pengembangan bisnis, dan kompetisi. Bobot yang diberikan sama antara mahasiswa yang aktif dalam organisasi selama satu tahun jabatan dan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan lain. Ini tidak rasional, mengingat keadilan tidak berarti penyamarataan, melainkan memberikan penghargaan yang sesuai dengan porsi tanggung jawab masing-masing.

Selain itu, pemberian bobot yang sangat kecil, yakni satu hingga tiga bobot, juga menjadi masalah. Ketentuan tiga bobot hanya diberikan untuk kegiatan tertentu seperti Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan menjadi pengurus organisasi tingkat universitas. Namun, kesempatan untuk mengikuti PKM atau menjadi pengurus organisasi tingkat universitas sangat terbatas karena hanya diadakan satu kali dalam setahun. Akibatnya, mayoritas mahasiswa hanya mampu mengumpulkan satu atau dua bobot untuk memenuhi syarat 10 bobot SKP. Hal ini mengharuskan mahasiswa untuk mengikuti lima sampai 10 kegiatan dengan ketentuan dua kegiatan berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2).

Kampus perlu mengevaluasi sistem pemberian poin dalam SKP Pilihan agar lebih adil dan tidak hanya menggunakan logika penyamarataan. Jika sistem ini terus berlanjut, maka akan menciptakan ketimpangan antara tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa dan bobot poin yang diterima. Prinsip keadilan harus ditegakkan dengan memastikan setiap kegiatan dihargai sesuai dengan tingkat kontribusi dan tanggung jawab yang diberikan.

Urgensi Revitalisasi SKP Pilihan

Selain masalah ketidakspesifikan objek dan bobot kegiatan, kewajiban SKP Pilihan menciptakan ekosistem baru yang membatasi aktivitas mahasiswa di luar kelas. Mahasiswa akan terfokus pada pemenuhan SKP Pilihan, sehingga aktivitas mereka terpaku pada ketentuan yang tertera. Hal ini membatasi kebebasan mahasiswa untuk aktif sebagai agen perubahan.

Penetapan kegiatan-kegiatan di luar kelas yang ditentukan oleh pihak kampus seharusnya dihilangkan karena kegiatan di luar kelas merupakan hak prerogatif mahasiswa. Jika dilakukan, hal ini akan menghilangkan inisiatif dan inovasi kegiatan mahasiswa yang lahir dari pemikiran mahasiswa. 

Oleh karena itu, pihak UII, terutama FH, harus mengkaji dan mengevaluasi kembali ketentuan SKP Pilihan yang diwajibkan untuk seluruh mahasiswa. Pertama, pertimbangkan apakah kebijakan ini tidak mengekang kreativitas dan inovasi mahasiswa dengan mengharuskan jenis dan bentuk kegiatan tertentu. Kedua, penerapan aturan harus dilakukan dengan konsisten, memberikan kewajiban kepada semua mahasiswa tanpa pengecualian, untuk menjamin keadilan. Ketiga, kegiatan yang diatur perlu disesuaikan dengan karakteristik masing-masing fakultas dan program studi. Keempat, pemberian poin SKP harus didasarkan pada porsi tanggung jawab dan beban kerja yang adil, bukan hanya berdasarkan kesamarataan, agar kampus tetap menjadi tempat perjuangan bagi mahasiswa dalam membangun bangsa dengan nilai-nilai Islam.

Poin-poin di atas menjadi penutup sekaligus menjadi bunyi permintaan penulis kepada UII, terutama FH, agar berpikir ulang dalam penetapan Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2024 tentang Satuan Kredit Partisipasi dan Kemahasiswaan, khususnya yang mewajibkan SKP Pilihan untuk diploma, sarjana, dan sarjana terapan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *