Categories Resensi

Green Book: Melanggengkan Rasisme Secara Terselubung

So if I’m not black enough and if I’m not white enough, then tell me, Tony, what am I?” – Dr. Don Shirley

Judul               : Green Book

Genre              : Drama-dokumenter

Durasi             : 2 jam 10 menit

Sutradara         : Peter Farelly

Memasuki bulan Maret, perbincangan tentang sinema selalu lebih gencar. Perbincangan ini dipengaruhi oleh keberadaan Academy Awards yang memang rutin diadakan tiap tahunnya. Beragam film legendaris pernah memenangkan ajang penghargaan yang juga dikenal dengan sebutan Oscars itu, mulai dari Casablanca, Forrest Gump, hingga yang terakhir, Parasite. Di antara film-film pemenang Oscars terdapat satu film yang kemenangannya menuai kontroversi besar di negara asalnya, Amerika Serikat. Isu tentang rasial, supremasi kulit putih yang memang menjadi isu pemecah belah di negara Paman Sam tersebut sempat menguat lagi pasca kemenangan Green Book untuk kategori Best Picture. Oleh karena itu pula, menjelang masuknya Oscars Season ada baiknya kita melakukan kilas balik pada kemenangan Green Book film tentang diskriminasi kulit hitam yang justru menerima cemooh dari komunitas kulit hitam itu sendiri.

Green Book, film biopik yang berlatarkan pada Amerika Serikat di tahun 1960-an. Film yang disutradarai Peter Farelly ini menceritakan tentang pertemanan antara Tony “Lip” Vallelonga (diperankan oleh Viggo Mortensen) dengan Dr. Don Shirley (Mahershala Ali). Meski pada akhirnya mampu menjalin hubungan erat, kepribadian Lip dan Don Shirley sebenarnya saling berkontradiksi.

Lip ialah seorang tukang pukul bar berdarah Italia-Amerika yang harus kehilangan pekerjaan selama beberapa saat. Berbanding terbalik dengan Lip yang berasal dari golongan kerah biru, Don Shirley adalah seorang prodigy dengan gelar doktor di bidang psikologi, musik, seni liturgi, serta dapat berbicara beberapa bahasa. Tapi bukan hanya perbedaan kelas sosial yang membuat hubungan mereka terasa janggal. Melainkan fakta bahwa Lip yang begitu rasis harus menjadi supir pribadi dari Don Shirley yang merupakan pria berkulit hitam.

Pertemuan mereka dimulai dengan rencana Don Shirley untuk melakukan perjalanan tur musik ke selatan Amerika Serikat. Demi membuat tur tersebut berhasil, Don Shirley memerlukan seorang supir yang juga dapat menjadi pengawal pribadi. Kebutuhan Don Shirley akan pengawal pribadi bukannya tak beralasan, pasalnya saat itu masyarakat bagian selatan Amerika Serikat masih begitu terkenal akan sifat rasis dan anti kulit hitam. Berangkat tanpa didampingi seorang tukang pukul yang handal sama saja dengan membiarkan diri untuk didiskriminasi.

Awal pertemuan mereka terjadi pada wawancara kerja di apartemen mewah Don Shirley di Carnegie Hall. Lip sampai dibuat terkagum oleh interior apartemen Don Shirley yang dipenuhi perhiasan emas dan aksesoris mewah. Kekaguman yang hilang begitu ia mengetahui bahwa si pemilik apartemen adalah seorang pria berkulit hitam. Lebih jauh lagi, Lip bahkan memilih untuk menolak tawaran pekerjaan dari Don Shirley karena berkulit hitam.

Ya, Lip memang sangat rasis. Bahkan pada satu adegan, Lip sampai harus membuang gelas-gelas yang sebelumnya digunakan oleh tukang ledeng berkulit hitam ke tempat sampah rumahnya. Meski begitu, kesulitan ekonomi akhirnya memaksa Lip untuk menepikan egonya sejenak. Setelah berdisuksi dengan istrinya, ia pun memutuskan untuk menerima pekerjaan dan gaji besar dari Don Shirley. Dengan ditemani oleh buku hijau, perjalanan panjang mereka pun dimulai.

Dari kota ke kota, hotel ke hotel. Dengan berbagi banyak kisah, Lip dan Don Shirley pun menjadi dekat. Don Shirley yang awalnya begitu berkelas dan angkuh perlahan mulai diperkenalkan akan gaya hidup masyarakat kerah biru oleh Lip. Begitu juga sebaliknya, berkat Don Shirley, Lip dapat merasakan bagaimana diskriminasi dan segregasi sosial yang masih begitu kental di negaranya.

Dengan nuansa komedi satir, tingkah laku kedua karakter utama mampu menggelitik relung penonton. Perilaku intoleransi dan penuh praduga dari masyarakat-masyarakat kulit putih Amerika Serikat seakan menjadi jualan utama dari film ini. Banyak pesan tersirat dan tersurat, salah satu yang paling nampak ialah bagaimana Don Shirley yang sekalipun berpendidikan dan bergelimang harta tetap menjadi korban diskriminasi. Bahkan pada satu adegan, Don Shirley tidak diperbolehkan untuk menggunakan kamar kecil di dalam rumah oleh orang yang mengundangnya. Seakan mereka hanya menghargai karya Don Shirley sebagai seorang musisi, tetapi bukan sebagai manusia.

Judul film ini sebenarnya merupakan penyingkatan dari nama The Negro Motorist Green Book sebuah buku panduan untuk masyarakat kulit hitam yang ingin melakukan perjalanan ke selatan Amerika Serikat. The Negro Motorist Green Book berisi daftar-daftar restoran, hotel, bahkan pom bensin yang dianggap aman bagi masyarakat Afrika-Amerika. Buku tersebut ditulis oleh Victor Hugo Green, seorang pengantar surat yang harus merasakan sulitnya segregasi sosial dan diskriminasi di bawah hukum Jim Crow.

Buku panduan itu merupakan simbol dari imobilitas ras kulit hitam di Amerika Serikat yang terus berlangsung hingga tahun 1960-an. Walaupun hak sederhana untuk dapat bergerak tanpa persekusi (right to move without persecution) nampaknya telah mengalami perkembangan signifikan selama 50 tahun terakhir, isu rasial tetap menjadi suatu kenyataan bagi kulit hitam di Amerika Serikat hingga saat ini. Ditunjukkan dengan masih maraknya kasus-kasus penembakan polisi yang melibatkan para warga kulit hitam.

Produksi film ini dari segi teknis, sebenarnya patut untuk mendapatkan pujian. Perancang busana dan perancang produksi dari Green Book secara meyakinkan dapat memberi potret dari Amerika Serikat di era tahun 1960-an. Selain itu, Sean Porter sebagai Director of Photography dalam film ini mengambil gambar dengan lensa yang memiliki tone warna pucat demi merefleksikan ‘jarak’ masa yang digambarkan di film dari masa sekarang.

Terlepas dari nilai plus yang telah disinggung di atas, secara substansi, film ini mengalami beberapa kritik akibat penggambaran isu rasialnya. Penggambaran isu tersebut acapkali di klaim sebagai terlalu sederhana dan reduktif. Bahkan dapat dikatakan bahwa Green Book secara naik mengimpresikan bahwa seakan-akan rasisme—terutama di Amerika Serikat telah hilang sama sekali dewasa ini. Misalnya pada rentetan adegan di mana Tony dan Don ditilang di Mississipi yang diikuti oleh momen di mana seorang polisi menjebloskan keduanya ke dalam penjara selepas interaksi yang berlangsung. Permasalahan semacam ini mungkin sudah tidak terjadi se-eksplisit sebagaimana tergambar di film, namun isu racial profiling dalam konteks penilangan misalnya, tidaklah sama sekali hilang di era modern ini.

Meskipun film ini tidak menyampaikan humornya secara berlebihan, dengan tetap mampu untuk mengantarkan beberapa isu dan menyentuh beberapa momen dramatis maupun momen pedih. Dapat dikatakan bahwa film ini terlalu bersifat menyenangkan semua pihak dan bahkan terkesan menenangkan. Film ini tidak terlalu menyentuh isu yang seharusnya bersifat sensitif seperti rasial, yang lebih baik bila ditampilkan dengan kritik atau pendirian yang berani untuk menentang rasisme tanpa meromantisasinya sedemikian rupa. Terkesan bahwa tujuan utama dari sutradara film ini adalah untuk sedapat mungkin menyenangkan semua pihak yang akan menonton. Lebih lanjut, pesan yang terlihat ingin disampaikan sekadar bahwa “rasisme itu buruk”, merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan. Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa film ini tidak mengambil resiko apapun terutama secara kreatif.

Green Book mengidap apa yang secara populer dikenal sebagai “white savior complex”. Dalam konteks ini, pemeran utamanya adalah Tony seorang lelaki kulit putih yang rasis namun pada akhirnya mampu untuk mengubah cara berpikirnya dan lalu dapat ‘menyelamatkan’ Don, seorang kulit hitam. Dengan demikian, Don sebagai seorang karakter yang lebih menarik seakan-akan diposisikan hanya sebagai pemeran sampingan belaka. Waktu tampilnya di layar direduksi, dan ketimbang Tony hanya sedikit waktu yang dialokasikan untuk menceritakan perjuangan, masa lalu, serta latar belakang kehidupan Don secara menyeluruh.

White savior complex ini bukanlah suatu fenomena baru dan eksklusif nampak di film ini saja. Secara sederhana, ia merupakan cara yang digunakan untuk membuat ‘rasisme’ dapat lebih disukai oleh penonton kulit putih. Sebagai contoh, Tony yang digambarkan sebagai seseorang yang betul-betul memiliki rasa jijik terhadap ras kulit hitam, ia tetap menyepakati untuk membantu Don dan bahkan memiliki peran untuk memberi pelajaran terhadap Don—seorang kulit hitam—mengenai kultur kulit hitam itu sendiri. Tony digambarkan hanya sebagai seorang ‘rasis yang tidak berbahaya’ karena alasan prasangka rasial yang dimilikinya disebabkan hanya karena ia merupakan orang yang kurang ‘pengetahuan’ dan ketiadaan hubungan formal dengan seorang kulit hitam. Dan selain itu, ia sedikit demi sedikit menjadi tidak rasis hanya karena pertemanan yang terbentuk selama perjalanan tur dengan Don.

Isu problem white savior complex ini juga tergambar dengan adegan-adegan dimana Tony lah yang melindungi Don dari kekerasan fisik seperti mengajarkan Don untuk tidak menghitung uangnya di ruang publik; menyelamatkan Don dari persekusi; dan Tony pula yang menjamin bahwa Don tidak pergi sendirian selama berada di selatan Amerika Serikat tanpa perlindungannya. Namun, terlepas dari itu semua, film ini tetaplah secara umum dapat memberi kesan hangat. Terutama karena kharisma dan interaksi yang dimiliki antara kedua pemeran utama selama film berlangsung.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *