Categories Resensi

Makna Pulang dalam Penerimaan Diri dan Masa Lalu

  • Judul: Pulang
  • Pengarang: Tere Liye
  • Penerbit: Republika
  • Tahun Terbit: 2015
  • Jumlah Halaman: 400 halaman

“Hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.”

Namanya Bujang, anak laki-laki berumur 15 tahun yang hidup di daerah bernama Talang, kawasan Bukit Barisan, Sumatera. Bapak Bujang bernama Samad dan ibunya, Midah. Keduanya memiliki latar belakang yang amat berbeda, Samad adalah anak tukang pukul masyhur di Sumatera, sedangkan Midah merupakan putri dari seorang guru agama. Bujang besar dengan didikan keras bapaknya, serta hati lembut ibunya. Hidup Bujang yang dipenuhi dengan amarah bapaknya dan tangisan ibunya berubah pada suatu malam ketika ia pergi bersama rombongan pemburu babi hutan di rimba Sumatera.

Saat itu Bujang dan para pemburu babi yang dipimpin Tauke Besar melancarkan aksinya. Hingga akhirnya Bujang mati-matian melawan babi terakhir yang sangat besar. Kejadian tersebut menjadikan Bujang tak memiliki rasa takut. Selepas ikut berburu babi hutan Tauke Besar mengajak Bujang pergi ke kota, sebuah perantauan yang akan mengubah hidupnya. Ibunya yang berat merelakan kepergian Bujang hanya menitipkan satu pesan, “Berjanjilah kau akan menjaga perutmu (dari makanan dan minuman haram) itu, Bujang. Agar… agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik yang putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang”. Pesan yang awalnya tidak dipahami oleh Bujang dan ternyata menjadi kunci atas semua perjalanan hidupnya di masa depan.

Selepas di kota, Bujang bergabung dengan keluarga Tong. Di sana Bujang tumbuh menjadi pemuda yang tidak hanya cerdas, namun juga kuat. Ia menempuh pendidikan formal yang tidak didapatkannya di kampung hingga menamatkan pendidikan sarjana dan dua master di Amerika. Darah tukang pukul masyhur yang mengalir dari bapaknya juga tidak disia-siakan. ia banyak belajar bela diri, berguru ilmu samurai, hingga menembak. Kejayaan kehidupan Bujang di kota, selaras dengan berkembangnya shadow economy milik Tauke Besar yang ia jalani.

Namun, titik balik kehidupannya adalah ketika ia menghadapi pengkhianatan. Diperparah dengan meninggalnya orang-orang yang ia sayangi satu persatu dan membuatnya merasa tidak ada lagi tempat untuk ‘pulang’. Ia akhirnya merasakan emosi yang yang telah lama hilang di hidupnya, yaitu rasa takut. Saat mengalami masa sulit, Bujang bertemu seseorang bernama Tuanku Imam yang membuatnya mengerti untuk menerima rasa takut dan masa lalunya., Bujang pun akhirnya mengerti hakikat pulang yang pernah dikatakan Mamaknya.

Tere Liye mengemas novel ini dengan nyaris sempurna. Penggambaran setiap tokoh, latar tempat, dan waktu dijelaskan secara detail sehingga dapat memudahkan pembaca untuk merasa terlarut di dalamnya. Gejolak emosi dan naik turun kehidupan Bujang, dikemas dengan begitu apik hingga mampu membuat pembaca ikut merasakan kekecewaan, kesedihan, ketegangan, ataupun kebahagiaan yang dirasakannya. Semua kisah dalam novel ini tetap dibiarkan mengalir begitu saja sehingga tidak terasa membingungkan walaupun menggunakan alur maju mundur dalam setiap babnya.

Novel ini banyak mengulas tentang kekeluargaan, kesetiaan, dan penerimaan diri sendiri serta masa lalu. Contohnya, bagaimana Bujang berusaha mati-matian untuk selalu melindungi Tauke Besar karena kesetiaan padanya.

Novel ini sarat dengan makna dan berbagai nilai-nilai kehidupan. Namun, Tere Liye tidak menjadikan novel ini menye-menye, ia justru menyisipkan beberapa adegan aksi seperti tembak-menembak dan perkelahian menggunakan pedang sehingga rasa berdebar-debar ketika membaca tetap ada.

Walaupun dikemas dengan nyaris sempurna, namun ada beberapa kekurangan dalam novel ini. Misalnya Tere Liye banyak memasukkan istilah asing ke dalamnya, seperti shadow economy, prototype, pistol colt yang tidak banyak diketahui oleh orang awam tanpa diberikan penjelasan. Selain itu, peristiwa baku hantam di gedung pusat kota negara besar yang beberapa kali diceritakan juga seperti tidak masuk akal dan mengawang-awang.

Tere Liye mengajak pembaca untuk lebih merenungkan tentang perasaan dan emosi yang sering kali kita alami. Manusia sering kali memendam rasa kecewa terhadap masa lalu sehingga berimbas pada kehidupan sekarang. Diperlukan rasa memaafkan dan menerima agar masa lalu tidak lagi menghantui. Seperti Bujang yang awalnya merasa tidak memiliki rasa takut, menjadi menerima perasaan tersebut dengan cara mengerahkan sepenuhnya pada Tuhan.

Novel ini juga berulang kali membahas tentang kesetiaan pada prinsip, yang hanya dapat dipahami apabila dibaca hingga akhir. Kesetiaan Bujang pada pesan yang diberikan Mamaknya menjadi jalannya untuk ‘pulang’ kepada Tuhan dan menerbitkan kembali motivasi hidupnya yang nyaris berantakan.

Pada akhirnya, manusia memang harus memiliki rasa menerima, baik atas emosi dalam diri, masa lalu, maupun segala hal yang terjadi semasa hidup. Penyangkalan yang ada pada diri kita sering kali menimbulkan beban baru sehingga menyebabkan langkah dalam hidup semakin berat. Karena sesungguhnya yang kita butuhkan bukanlah melupakan memorinya, namun bagaimana pengelolaan emosi hingga dapat memberikan respons berbeda atas hal tersebut.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *