Categories LPM Keadilan

Pengabdi Drama Korea

Oleh: Tyas Pitaloka*

Pencinta drama Korea (drakor), siapa yang tak mengenal Goblin, Descendant Of The Sun, The Heirs, Legend Of The Blue Sea, Princess Hour, dan segudang drama Korea lainnya? Mereka rela menonton secara maraton (menonton beberapa episode terus menerus). Meskipun pada awalnya digunakan hanya untuk mengisi waktu kosong. Demam drama Korea ini tak hanya terjadi di tahun 2018 saja. Kemunculan drama Korea itu berawal dari intervensi kebijakan budaya pemerintah Korea di tahun 1980-an untuk memajukan perekonomian dalam sistem politik otoritarian.

Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan signifikan dengan tujuan pembelanjaan negara pada kegiatan yang telah ditentukan. Sayangnya, pada era ini Korea membatasi secara ketat industri perfilman yang notabenenya merupakan salah satu pilar kebudayaan. Ketika kebutuhan akan demokrasi semakin mendesak di tahun 1987, terdapat perubahan signifikan terhadap kebebasan berekspresi bagi para pembuat film (Velda Ardia, 2014: 12).

Seorang penulis buku, Maria Erniyanti Kedi  (2013: 21) menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir ini, demam budaya pop Korea melanda Indonesia. Fenomena ini dilatarbelakangi Piala Dunia Korea-Jepang 2002 yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam hal persepakbolaan. Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin mempersohor nama mereka di mata dunia. Beberapa waktu menjelang, selama dan setelah hiruk-pikuk Piala Dunia, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air gencar bersaing menayangkan musik, film, maupun sinetron Korea. Jumlah ekspor film Korea gencar dilakukan pada tahun 2002-2006 ini diiringi dengan perkembangan industri pertelevisian, melalui pembuatan serial drama yang kini menjadi ekspor terbesar sistem penyiaran di Korea. Perkembangan industri ini dipicu oleh kompetisi ketat di antara jaringan pertelevisian untuk mencapai rating tertinggi (Velda Ardia, 2014: 12).

Dilansir dari laman Tirto.id sebanyak 38,78% masyarakat Indonesia bisa menghabiskan satu sampai dua jam per hari menyasikan drakor. 33,08% masyarakat mampu menonton selama tiga hingga empat jam. Bayangkan saja satu drakor bisa mencapai sedikitnya 10 episode  dengan durasi rata-rata 50 menit. Dengan waktu yang singkat, penikmat drakor dituntut untuk memahami jalan cerita per episode secara maraton. Bahkan ada pula pecandu drakor mampu menghabiskan dua film selama sehari.

Berawal dari coba-coba menonton atau karena penasaran dengan apa yang tengah viral di kalangan pecinta film dan lambat laun menjadikan mereka pengabdi drama Korea tersebut. Alasannya pun beragam, mulai dari alur cerita yang dapat menghipnotis penontonnya, penampilan fisik memesona, cara pembawaan akting, judul menarik, hingga tema yang beragam.  Uniknya, di dalam cerita drama biasanya mengambil latar tempat yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke Negeri Ginseng tersebut. Bahkan ada beberapa film yang memiliki latar waktu pada masa dahulu. Menjadikan para pencintanya penasaran dengan cerita baru dari drama yang muncul. Malahan ada beberapa orang yang rela menghabiskan kuota hanya untuk streaming-an maupun mengunduh drama favorit mereka pada situs-situs penyedia.

Ironisnya, drama ini dijadikan kiblat gaya hidup ataupun tren dikalangan pencintanya. Beberapa budaya dari Negeri Ginseng itu mulai diadopsi oleh generasi era milenial. Bahkan budaya tersebut cenderung diikuti terus menerus oleh mereka agar terlihat modis. Tak ayal, demam Korea ini juga dilirik para pebisnis di Indonesia. Bisnis mode, make up, elektronik, gaya rambut, dan makanan bergaya Korea kini menjamur. Seorang sosiologis bernama Jean Baudrillad mengkritik bahwa orang-orang saat ini mengkonsumsi hal-hal yang tidak mereka butuhkan, namun yang mereka inginkan. Sehingga setiap orang berbagi satu kesamaan penting yakni mereka semua seragam dalam penggunaan simbol-simbol modernitas. Keberadaan budaya pop dari negara-negara maju dikhawatirkan akan mengikis kebudayaan asli negara-negara berkembang sebagai penerimanya (Velda Ardia, 2014: 12).

Selain itu, dari sisi psikologis drakor membawa dampak begitu besar. Seperti generasi milenial mudah terbawa suasana atau biasa disebut “baper”. Sering berkhayal memiliki kehidupan yang sama dalam cerita drama, mudah lupa waktu, kurang realistis dalam berpikir, dan kurangnya komunikasi dengan lingkungan, mereka cenderung lebih suka dengan layar yang ditatapnya berjam-jam itu. Ada pula dari beberapa pengabdi drakor rela merogoh kocek jutaan rupiah demi melihat langsung idolanya yang konser di Indonesia.

Dampak terbesar dari serial drama romantis Korea terlihat nyata pada kaum perempuan, karena mereka lebih menggunakan perasaan daripada logika. Perasaan yang dimiliki oleh  perempuan lebih peka apabila dibandingkan dengan laki-laki. Selain cantik, perempuan memiliki karakter yang sangat rumit dan kompleks. Bukan hanya masalah pribadinya saja yang memengaruhi, tetapi juga latar belakang, nilai moral, budaya, pandangan hidup, tingkat intelektualitas, dan lain- lain (Maria Erniyanti Kedi, 2013: 21).

Gaya hidup dan budaya yang diadopsi generasi milenial jika terus-menerus berkembang, maka gaya hidup konsumtif tak dapat terelakkan lagi. Lambat laun akan menggerus budaya asli yang dimiliki Indonesia. Untuk menekan hal tersebut bisa dilakukan dengan mengombinasi kultur khas Indonesia dan adopsi tanpa meninggalkan keaslian budaya dalam negeri.

  • Penulis merupakan mahasiswi asal Semarang. Tulisan ini sendiri pemenang 10 besar Lomba Esai HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *