Categories Opini

Lima Semester Kuliah, Masih Tak Bisa Menulis Ilmiah?

Lima semester kuliah hukum, tapi banyak mahasiswa masih kebingungan menulis ilmiah. Bukan karena malas, tetapi karena kampus tak memberi bekal. Sampai kapan FH UII membiarkan ini?

Hingga memasuki semester lima, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) masih belum pernah menyentuh mata kuliah yang secara khusus mengajarkan metode penulisan ilmiah. Sebagian menganggap hal ini biasa saja, seolah kemampuan menulis akan tumbuh dengan sendirinya seperti rumput liar di halaman kampus. Padahal, dalam pendidikan hukum, menulis tidak sesederhana menuangkan kalimat ke dalam paragraf. Menulis adalah fondasi berargumentasi, jembatan antara logika dan hukum, serta kemampuan dasar yang membedakan mahasiswa hukum dari sekadar komentator media sosial. Idealnya, mata kuliah metode penulisan diberikan sejak semester awal sebagai fondasi berpikir kritis dan kemampuan menyusun argumen akademik yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, realitas berkata lain. Banyak mahasiswa ketika menghadapi tugas penulisan ilmiah langsung berbondong-bondong mencari penyelamat, yaitu Artificial intelligence (AI) dan joki penulisan. Situasi ini tampak lucu pada awalnya, tetapi sebenarnya menyedihkan dan memprihatinkan. AI digunakan tanpa memahami etika akademik yang sudah ditetapkan fakultas. Mahasiswa hanya mampu menyalin, menempel, serta mengirim, dengan harapan dosen tidak terlalu jeli memeriksanya. Bahkan, ketika ada lomba menulis, hampir tidak ada mahasiswa yang berani ikut, hanya sedikit yang berani mendaftar. Bukan karena tidak berminat, tetapi karena sejak awal tidak pernah diajarkan cara menyusun argumen dalam bentuk tulisan.

Kondisi ini semakin terasa berat ketika proses penulisan jurnal ilmiah dimulai. Struktur berantakan, rujukan kabur, logika terputus-putus, hingga bahasa yang digunakan sering kali jauh dari standar akademik. Di sinilah puncak kekacauan terlihat. Beberapa mahasiswa akhirnya memilih opsi paling “praktis”, menyerahkan proses intelektual mereka kepada jasa joki penulisan. Pada satu titik, orang bisa saja bertanya: “apakah kampus sedang mencetak sarjana hukum atau pelanggan loyal jasa joki?”

Sementara itu, di luar sana, kampus lain sudah berlari lebih cepat. Di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mata kuliah metode penulisan sudah ditetapkan dengan jelas di semester lima. Fakultas Hukum Universitas Nasional menyediakan mata kuliah metode penulisan sebagai pilihan yang bisa diambil mahasiswa. Sedangkan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, metode penulisan bahkan menjadi mata kuliah wajib di semester lima. Ketiganya seolah berkata lantang bahwa kemampuan menulis adalah investasi intelektual, bukan pelengkap kurikulum.

Perbedaan ini membuat FH UII terlihat seperti penumpang yang tertinggal di stasiun karena terlalu sibuk mencari jadwal kereta yang belum juga diumumkan. Mahasiswa kampus lain sudah belajar cara menulis argumen hukum, menyusun paper kompetitif, hingga mempersiapkan publikasi. Sementara mahasiswa FH UII baru menyadari beratnya tugas menulis ketika sudah terlambat, tanpa memiliki bekal yang memadai.

Ironisnya, kampus sering menuntut mahasiswa untuk menghasilkan tulisan ilmiah yang berkualitas. Akan tetapi, bagaimana mungkin tuntutan itu dipenuhi jika bekal dasarnya saja  tidak pernah diberikan. Situasi ini seperti meminta seseorang menyusun kontrak perdata tanpa pernah mengenal struktur perjanjian. Tidak heran jika banyak mahasiswa menganggap tugas menulis sebagai momok menakutkan yang harus dihadapi dengan segala cara, termasuk cara-cara yang mengikis integritas akademik.

Maka pertanyaannya kini sederhana: sampai kapan FH UII akan bersikap seolah tidak ada masalah? Apakah fakultas akan terus menunggu hingga kebiasaan menggunakan joki dianggap lumrah? Ataukah menunggu hingga mahasiswa tak lagi percaya diri dalam menulis karya ilmiah mereka sendiri? Jika fakultas berharap menghasilkan lulusan yang mampu bersaing, maka membiarkan keterampilan menulis diabaikan sama saja dengan menyiapkan jalan bagi ketertinggalan mereka.

Salah satu langkah yang paling masuk akal adalah menjadikan mata kuliah metode penulisan sebagai mata kuliah wajib sejak awal-awal semester. Semakin cepat mahasiswa dibiasakan menulis, semakin besar peluang mereka membangun pola pikir yang sistematis. Penulisan tidak lagi dianggap sebagai tugas musiman, tetapi sebagai kebiasaan intelektual yang melekat dalam aktivitas sehari-hari. Jika keterampilan ini ditanam sejak tingkat awal, mahasiswa tidak lagi terkejut ketika diminta menyusun jurnal, artikel ilmiah.

Selain itu, pembelajaran metode penulisan dapat menjadi benteng penting terhadap budaya joki. Jika mahasiswa memahami cara menyusun argumentasi, melakukan sitasi, dan merangkaikan analisis, mereka tidak akan merasa perlu menggunakan jasa penulisan orang lain. Dengan demikian, dosen-dosen tidak perlu terus-menerus menangani pelanggaran etika akademik setiap kali memberikan tugas ilmiah. Penekanan pada kemampuan menulis juga akan memperkuat karakter mahasiswa sebagai calon praktisi dan akademisi hukum yang mampu berpikir kritis dan menyampaikan gagasan secara bertanggung jawab.

Sudah waktunya FH UII berhenti menunda perubahan kurikulum yang jelas-jelas dibutuhkan. Mahasiswa hukum tidak cukup hanya pandai berbicara atau menghafal pasal. Mereka harus mampu menuliskan gagasan hukum secara jernih, runtut, dan meyakinkan. Dunia akademik dan dunia praktik sama-sama memerlukan itu. Tanpa keterampilan menulis, keunggulan intelektual hanya menjadi potensi kosong yang tidak pernah benar-benar diwujudkan.

Dengan memasukkan metode penulisan sebagai mata kuliah wajib pada semester-semester awal, kampus tidak hanya memperbaiki kurikulum, tetapi juga menegaskan komitmennya untuk membentuk lulusan yang berdaya saing tinggi. Di tengah pesatnya perkembangan dunia hukum, mereka yang tidak mampu menulis akan tertinggal. FH UII tentu tidak ingin mahasiswanya dikenal sebagai generasi pandai berbicara yang tersandung setiap kali diminta menulis.

Ketiadaan mata kuliah metode penulisan hingga semester lima menunjukkan adanya celah serius dalam pembinaan akademik FH UII. Ketidaksiapan mahasiswa menghadapi tugas ilmiah, ketergantungan pada AI dan joki penulisan, serta rendahnya partisipasi dalam kompetisi menulis merupakan tanda bahwa kampus perlu mengambil langkah korektif nyata. Dibandingkan perguruan tinggi lain yang telah menempatkan metode penulisan sebagai bagian strategis kurikulumnya, FH UII tidak boleh terus berada di posisi tertinggal. Menjadikan metode penulisan sebagai mata kuliah wajib sejak semester-semester awal adalah langkah mendesak untuk membangun tradisi literasi hukum yang kuat. Tanpa fondasi menulis yang kokoh, mahasiswa akan sulit bersaing, baik di ranah akademik maupun profesional. Oleh karena itu, pembenahan kurikulum bukan lagi pilihan, melainkan keharusan demi menjaga mutu pendidikan hukum dan martabat institusi.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *