“Oleh karena itu, pembentukan tim reformasi Polri ini memang perlu dibentuk dan harapannya dari tim reformasi ini memang benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat” Ujar Darmawan selaku perwakilan dari PBH PERADI.
Yogyakarta-Keadilan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Yogyakarta bersama dengan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) SIKAP, dan Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI DPC menyatakan sikap dalam konferensi pers pada Kamis, (17/09/2025). Pernyataan sikap tersebut merupakan sebuah respon atas pernyataan yang dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) yaitu Prabowo Subianto mengenai pembentukan tim reformasi Kepolisian Reupublik Indonesia (POLRI). Hal tersebut senada disampaikan oleh Yusril selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan dilansir dari kompas.com pada (16/09/2025).
Isu yang menjadi dasar dari terbentuknya inisiasi reformasi Polri ini merujuk pada peristiwa yang berlangsung pada akhir bulan Agustus dan juga tuntutan dari masyarakat sipil termasuk juga Gerakan Nurani Bangsa (GNB) dilansir dari antaranews.com. Hampir di seluruh penjuru kota yang ada di Indonesia serentak menggalakkan aksi demo yang ditanggapi dengan sikap brutalitas oleh pihak aparat kepolisian. Tentu, atas hal tersebut menimbulkan pertanyaan terhadap konsistensi aparat kepolisian dalam hal memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Pada pernyataan sikap dalam konferensi pers tuntutan dan rekomendasi koalisi yang disampaikan mencakup 3 (tiga) poin yaitu:
- Perbaikan regulasi: Mengkaji ulang dan merevisi regulasi yang tidak mendukung informasi Polri.
- Perbaikan Struktur: Melakukan reformasi struktural di tubuh Polri untuk memastikan akuntabilitas dan profesionalisme
- Perbaikan kultur: Mengubah kultur kerja di lingkungan kepolisian agar lebih berpihak pada masyarakat dan berperspektif HAM.
Perwakilan LBH Jogja Dhanil Alghifary mengungkapkan bahwa dalam situasi apapun, tidak ada kewenangan kepolisian untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat Sipil. “Sangat dikecewakan bahwasanya brutalitas atau kekerasan yang dilakukan oleh aparat ini, ternyata menjadi pemakluman umum di kepolisian. Berkaitan juga pada saat terjadi aksi-aksi demonstrasi begitu, kepolisian akan beralasan bahwa demonstran itu anarkis dan lain sebagainya”. ungkapnya.
Dhanil juga menegaskan bahwa belakangan ini sering ditemukan kasus aparat kepolisian melakukan kekerasan atau brutalitas, yang mana dalam tindakan tersebut tidak disertai dengan fungsi pengawasan yang memadai dari pihak kepolisian. “Saya belum pernah mendengar ketika ada kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ini kemudian dilaporkan dan ditindaklanjuti baik secara etik maupun pidana” lanjutnya.
Atqo Darmawan selaku perwakilan PBH PERADI juga mengatakan banyak kejanggalan yang terjadi pada aksi yang terjadi pada bulan Agustus, namun tidak ada keterangan sama sekali dari pihak kepolisian sehingga dinilai tidak terbuka atau transparan. “Banyak para korban yang kemudian keluar dari kantor kepolisian dengan kondisi yang penuh dengan luka. Kemudian, ada isu bahwa terdapat korban yang meninggal selama proses penahanan 1×24 jam (satu kali dua puluh empat jam)”. jelasnya.
Darmawan menyampaikan bahwa pasca pengumuman pembentukan tim reformasi Polri, tidak ada kepastian dan tindak lanjut, sehingga kesannya hanya sebatas omong-omong tanpa aksi nyata. Ia juga menambahkan bahwa hingga kini belum ada kejelasan mengenai konsep tim reformasi Polri tersebut, termasuk nama-nama yang akan mengisi posisi dalam tim tersebut, yang belum disampaikan kepada masyarakat. “Oleh karena itu, pembentukan tim reformasi Polri ini memang perlu dibentuk dan harapannya dari tim reformasi ini memang benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Dhanil juga menyatakan pendapatnya mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan jika tim reformasi Polri telah terbentuk, namun kenyataanya tidak berjalan sesuai harapan masyarakat. “Tentu, upaya-upaya lain banyak yang bisa dilakukan. Kalau upaya konkretnya ya tentu itu harus didiskusikan bareng-bareng. Apakah kemudian nanti melalui forum-forum yang sifatnya litigatif atau yang nonlitigasi”. sampainya.
Dhanil mengungkapkan bahwa reformasi Polri mencakup reformasi struktural karena banyak pejabat yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Namun, ia menegaskan bahwa reformasi struktural saja tidak cukup, karena akan sia-sia jika masyarakat tetap menghadapi situasi yang sama seperti sebelumnya setelah reformasi dilakukan. ”Maka ya proses pemilihan kepolisian yang baru nanti ya mesti berbasis pada sistem meritokrasi gitu ya, berdasarkan prestasi yang sudah dia lakukan dan lain seterusnya.” tegasnya
Afun Nakha selaku perwakilan LBH SIKAP mengatakan alasan reformasi Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah saatnya harus diganti. “Pertama itu soal legalitas, banyak kasus terjadi bahwa hukum kita yang sebenarnya sudah ada transaksional antara kepolisian. Kemudian, sengaja disembunyikan. Tentu saja hal tersebut membingungkan masyarakat ketika ada peristiwa-peristiwa pelanggaran yang kemudian terjadi di tengah-tengah masyarakat, prosesnya itu sangat lambat.” jelasnya.
Afun juga menambahkan bahwa pembentukan tim reformasi Polri harus dilakukan karena hukum dan hukum negara telah berkembang secara dinamis, sehingga peraturan dalam Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini.
Siti Fatimah selaku perwakilan dari PBHI Yogyakarta menyampaikan harapannya bahwa konferensi pers ini dapat mendukung pembentukan tim reformasi Polri oleh Presiden Prabowo, sehingga reformasi Polri dapat terwujud dan membawa perubahan yang lebih baik kedepannya. “Kita berharap strukturalnya juga akan berubah, kulturnya juga langsung berubah, namun mungkin perubahan tersebut tidak sesignifikan itu,” jelasnya.
Liputan bersama: Sri Indah Lestari, Irvan Hariz Amzary, Tria Kholifah, dan Fira Septianingrum.
.