Sentilan-Sentilan Kehidupan dalam Talijiwo   

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2018/05/Webp.net-resizeimage-1-1.jpg

“Inkonsistensi sedang mengancam bangsa ini. Banyak yang ngakunya suka persatuan. Giliran makan soto nasinya minta dipisah”. – Talijiwo

Judul: Talijiwo

Penulis: Sujiwo Tejo

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2018

Jumlah halaman: 176

Sujiwo Tejo adalah seorang seniman dan budayawan Indonesia dengan gaya nyeleneh. Ia telah banyak menelurkan karya tulis yang sarat makna. Hampir semua orang, terutama penggemar karya sastra pasti tak asing dengan nama Sujiwo Tejo. Selain aktif menulis, sampai sekarang beliau juga sering wira-wiri di televisi yang barang tentu membuat namanya makin dikenal.

Banyak orang menyukai Sujiwo Tejo namun tak sedikit pula yang tidak, baik secara personal maupun karena karyanya. Namun terlepas dari suka dan tidaknya orang lain terhadap dirinya, produktivitas beliau dalam bidangnya perlu diacungi jempol. Talijiwo, terbit diusianya yang ke-55 tahun.

Bagi penggemar Sujiwo Tejo, atau yang mengikuti akun Twitternya, pasti tak asing akan kicau-kicauan dengan tagar #Talijiwo. Tagar tersebut seakan menjadi tren anak muda zaman sekarang, kaya makna namun terkadang jenaka. Apalagi makin banyak anak muda kekinian yang ingin eksis dan terlihat nyeni, dengan ikut menggunakan tagar tersebut. Tak jarang pula para anak muda tersebut menyalin kicauan Sujiwo Tejo untuk disebarkan lagi.

Dari sajak-sajak dalam tagar tersebut kemudian lahirlah buku Talijiwo yang berisi kumpulan esai singkat. Melalui Talijiwo, Sujiwo Tejo mampu menyentil isu-isu sosial yang memang senyatanya terjadi sekarang ini. Mulai dari kecanduan teknologi, ketidakpedulian pada sekitar, hingga isu-isu seputar politik dan konflik agama yang menyebabkan terjadi sekat-sekat di antara manusia itu sendiri.

Talijiwo mengambil latar kehidupan sehari-hari dalam tiap ceritanya. Tiap cerita yang hadir dikemas dengan sederhana dan ringan. Karakter-karakter yang dihadirkan pun berupa pasangan suami-istri, sepasang kekasih, hingga antara anggota keluarga yang sedang ngrasani keseharian kehidupan manusia. Masing-masing cerita kadang menghadirkan sindiran-sindiran sarkastik namun menggelitik, yang menyindir kondisi sosial masyarakat sekarang ini.

Beberapa cerita menarik dalam Talijiwo antara lain adalah kisah dengan judul Puasa, tentang keluarga pasangan Nono dan Nunuk, yang hidup berkecukupan dan sering mengadakan rekreasi bersama. Suatu ketika mereka sekeluarga ingin menikmati masakan Padang di Mojokerto. Waktu yang mereka jadwalkan pun merupakan hari terakhir rumah makan tersebut mempertahankan keasliannya. yaitu seluruh karyawannya adalah orang Minang. Setelah hari itu para karyawannya akan diganti untuk menjunjung kebhinekaan dan keberagaman. Sedikit dibahas pula dalam cerita tersebut bahwa bos dari Nono, adalah orang yang taat beragama dan sering melakukan puasa sunah. Namun ketika si bos puasa, maka tak ada jadwal makan siang bagi seluruh karyawan.

Konflik para tokoh dalam cerita tersebut menggambarkan permasalahan yang sering terjadi. Misalnya dalam cerita tersebut digambarkan rumah makan Padang di Mojokerto dan hari terakhir menjaga keasliannya. Seakan ketika karyawan atau pemilik rumah makan Padang bukanlah orang Minang maka akan dianggap tak asli lagi, meskipun rasa masakannya sama.

Juga, tentang puasanya tokoh bos dari Nono dalam cerita, yang mengakibatkan tidak adanya jadwal makan siang. Cerita tersebut sangat berkaitan dengan sifat intoleransi serta egois yang dimiliki manusia. Sifat intoleran serta egois jika dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam diri manusia akan menjadi benih-benih fasis. Merasa kitalah yang paling benar, menolak golongan lain untuk tumbuh dan hidup berdampingan.

Cerita Puasa menggambarkan kondisi Indonesia dewasa ini, isu-isu yang muncul di media tidak jauh-jauh dari isu SARA. Terlebih lagi di tahun politik seperti sekarang, saat di mana isu-isu tersebut selalu digoreng sedemikian rupa. Pengkotak-kotakan masyarakat terjadi, memandang berbeda satu sama lain, dan memusuhi perbedaan. Padahal sejatinya kita semua sama, manusia yang harus memanusiakan manusia lainnya.

Selain itu ada juga kisah berjudul Saksi Kunci, bercerita tentang perbincangan antara pasangan suami-istri Pak Sastro dan Bu Jendro. Pasangan yang baru pulang berwisata panjang tersebut menemukan burung beo peliharaan mereka mati dibakar karena meneriaki orang lewat. Kisah tersebut dibawakan secara sangat sederhana dengan dialog-dialog ringan antar tokoh.

Sebagai penguat, beberapa kalimat sindiran juga diselipkan dalam cerita ini, “Manusia semakin ndak ada masalah, semakin ndak sensitif mereka. Dulu patung-patung asing dibangun ndak masalah. Sekarang begitu masalah berlahiran, patung asing jadi masalah”. Konteks kalimatnya adalah menyindir pembuatan patung bergaya Tiongkok di Tuban yang ditolak sebagian orang. Kisah beo yang mati pun merupakan bentuk kritikan Sujiwo Tejo atas tindakan reaksioner masyarakat dalam menyikapi suatu isu yang berkembang, sehingga terjadi persekusi dan main hakim sendiri.

Ada 41 judul esai yang terangkum dalam satu buku setebal 176 halaman ini. Isinya kurang lebih terkait kritik sosial, dengan tema yang sederhana namun mengena. Walaupun ada kemungkinan orang yang masih asing dengan buku-buku Sujiwo Tejo akan sedikit bingung ketika membaca buku ini. Karena tak jarang di tiap ceritanya terselip bahasa Jawa kekinian, yang sering digunakan para remaja ketika bercanda dengan temannya.

Salah satu kelebihan dari buku ini adalah mengenai kemampuan Sujiwo Tejo untuk membuat pembaca berpikir. Melalui buku ini, para pembaca dituntut untuk cermat serta kritis agar mengetahui esensi serta pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam setiap esainya. Kritik sosial serta sindiran-sindiran dalam cerita pun sebenarnya merupakan pesan yang bebas untuk diartikan. Terlebih lagi kumpulan esai ini ditulis dengan gaya satir nan menggelitik.

Tetapi buku ini juga sebenarnya memiliki suatu kekurangan. Pesan-pesan yang disampaikan dengan latar kisah sederhana menyebabkan cerita menjadi nampak abstrak. Hal tersebut seakan membuat gagasan Sujiwo Tejo menjadi nampak bias jika pembaca tidak berupaya untuk berpikir kritis setelah menamatkan buku ini. Barangkali hal tersebut bertujuan untuk menyamarkan pandangan politik serta keberpihakan dari Sujiwo Tejo sendiri, demi menyasar kalangan pembaca yang lebih universal.

Adrian Hanif

Penulis merupakan Staf Bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2017-2018 dan 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *