“Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa bodoh. Padahal dua-duanya kamu tak punya….” – Rusdi Mathari
Judul : Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Kisah Sufi dari Madura
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : 2016
Tebal Buku : 226 halaman
“Anjing ini aku, Mat.”
“Sampean ini suka aneh-anek Cak. Sekarang malah ngaku-aku anjing.”
…
“Sampean manusia, Cak. Kayak saya dan orang-orang itu.”
“Siapa bilang? Bagaimana kamu tahu aku manusia dan siapa aku?”
“Kalau sampean anjing, aku memanggil sampean Cak Anjing dong?”
“Kamu boleh memanggilku apa saja, Mat. Dan kalau ada orang yang memaki dan memanggilku ‘anjing’, aku tidak boleh dan tidak akan marah.”
…
“Aku malah berterima kasih kalau kamu atau yang lainnya benar menyebut dan memanggilku anjing. Dengan begitu, kehormatanku yang sesungguhnya sedang ditinggikan karena aslinya aku tidak akan pernah mampu sesetia dan sejujur anjing….”
“Ya saya ndak berani bilang apa-apa, Cak.”
“Sama, Mat. Aku juga tak berani memberi cap kepada siapapun dengan apapun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri.”
…
Kutipan di atas adalah penggalan dari salah satu kisah karangan Rusdi Mathari dalam bukunya yang berjudul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Penggalan cerita tersebut sebenarnya bukan tentang orang yang sedang mencari perhatian dengan meminta dipanggil sebagai anjing. Juga bukan tentang orang dengan gangguan jiwa yang mengaku sebagai anjing. Jika boleh penulis melakukan penafsiran, kisah ini bermaksud mengingatkan kita agar lebih rendah hati dengan tidak merasa paling mulia dan mudah melabeli orang lain.
Cerita ini ditulis oleh Rusdi yang terinspirasi dari kisah seorang sufi bernama Jalaluddin Rumi. Sama halnya dengan 29 cerita dalam buku ini yang juga terinspirasi dari kisah banyak sufi-sufi terkenal. Kumpulan cerita pendek dalam buku ini awalnya merupakan tulisan berseri yang dimuat oleh situs mojok.co pada bulan Ramadan 2014 dan 2015. Kisah-kisah dalam buku ini bertokoh utama Cak Dlahom, seorang pria edan dan jenaka. Namun, dibalik penggambaran karakter Cak Dlahom tersebut selalu muncul cerita-cerita agama yang memiliki makna amat dalam.
Selain cerita di atas, dalam buku ini juga terdapat kisah lain seperti Bersedekah Pada Nyamuk, Menghitung Berak dan Kencing, Kata Siapa Kamu Muslim, serta Pak Haji, Bu Puasa… Mbah Syahadat. Cerita-cerita pada buku ini pada umumnya menyinggung tentang hal yang prinsipiel dan simpel dalam kehidupan sehari-hari. Rusdi menyinggung perihal menghargai orang lain, cara untuk berikhlas, dan juga menjadi teguran terhadap pandangan keliru mengenai ibadah serta agama. Lewat sosok Cak Dlahom, Rusdi berhasil membuat kisah yang beraroma agama menjadi lebih renyah dan menyenangkan. Dengan cara ini menurut Penulis, dakwah bisa dilakukan dan tentunya lebih mudah diserap oleh masyarakat.
Meskipun bukan seorang ustaz, ulama, atau pendakwah, melalui buku ini Rusdi menunjukkan kualitas dan kecerdasannya dalam mengajarkan agama. Sebagai seorang jurnalis, Rusdi lebih mampu menunjukan kemampuan menyiarkan agama daripada beberapa orang yang mengaku sebagai pendakwah. Melalui karya ini kita bisa mengenal Rusdi nan berwawasan agama luas ketimbang pendakwah-pendakwah yang sering berkutat dengan kontroversi.
Membandingkan karya Rusdi ini dengan pendakwah-pendakwah memang bukan sesuatu yang seimbang. Karena yang dilakukan Rusdi adalah menulis cerita dan kemudian dibukukan. Sedangkan yang dilakukan oleh para pendakwah adalah menyiarkan agama di depan orang banyak. Tapi kiranya dari kisah-kisah di buku ini bisa diambil pelajaran untuk kita semua.
Sebagai contoh adalah sikap untuk tidak gampang melabeli, memberi cap, atau justifikasi terhadap seseorang. Seharusnya seorang pendakwah tidak pantas untuk gampang memberi cap kafir kepada seseorang. Juga sikap itu bisa dipelajari oleh pendakwah-pendakwah yang dengan gampang mengeluarkan kata bid’ah.
Seperti beberapa pendakwah yang menyatakan bahwa melakukan tahlilan atau membaca Alquran di makam untuk mendoakan orang sudah meninggal adalah bid’ah. Bahkan pendakwah yang sekelas Zakir Naik pernah menyatakan dengan tegas bahwa perayaan maulid nabi adalah bid’ah. Mereka berdalih hal-hal tersebut tidak dicontohkan nabi dan tak pernah dijelaskan dalam kitab dan hadis.
Sikap gampang melabeli tersebut dalam salah satu forum direspons oleh salah satu tokoh agama yakni Emha Ainun Najib. Bahkan secara sarkas merespons hal tersebut Emha berkata bahwa jika tidak ingin bid’ah maka contohlah rasul semirip mungkin dengan begitu kita tidak akan menyakiti hatinya. Dengan jenaka beliau memberi contoh saat rasul melakukan ibadah haji dengan menggunakan unta maka orang-orang zaman sekarang jangan pakai Boeing karena itu bid’ah.
Meskipun seseorang yang telah diakui sebagai pendakwah, tidak berarti ia bisa merasa lebih mulia dan lebih pintar. Sehingga dengan gampang bisa melabeli seseorang kafir karena hanya melihat satu hal yang dilakukannya. Banyak juga fenomena pendakwah yang dengan gampang mengecap kafir seseorang bahkan sampai melecehkan. Apakah itu yang dinamakan pendakwah? Padahal bukan menjadi kapasitas manusia sekalipun pendakwah untuk menentukan kafir dan tidaknya seseorang.
Sekali lagi penulis mengatakan bahwa buku ini sangat bagus bagi semua orang yang ingin mengerti agama, terlebih hal-hal prinsipiel dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang awam tentu juga sangat menyenangkan membaca cerita agama yang dikemas secara renyah oleh Rusdi. Cara Rusdi bertutur dalam buku ini setidaknya bisa merubah cara pandang kita terhadap kekeliruan-kekeliruan yang berasal dari permasalahan sederhana di kehidupan sehari-hari.
Tapi tentunya tidak hanya untuk kalangan awam, jika dimaknai dengan mendalam buku ini juga sangat mungkin digunakan sebagai renungan bagi pendakwah. Hal-hal prinsipiel yang disinggung buku ini bisa dimaknai lebih mendalam agar tidak terjadi permasalahan seperti di atas. Buku ini layak menjadi referensi pendakwah-pendakwah agar lebih elegan dalam bertindak, cerdas bertutur, dan kontekstual saat menyiarkan agama.
Tapi kini Rusdi tidak ada lagi. Beliau kembali ke hadapan pencipta, dengan menyisakan kisah-kisah Cak Dlahom yang bisa kita pelajari berulang kali. Setidaknya Rusdi meninggalkan buku ini untuk kita pahami. Penulis berharap agar semakin banyak orang seperti Rusdi yang renyah, dewasa, bijaksana, dan jenaka dalam berdakwah.
Mari menutup tulisan ini dengan dengan penggalan kata-kata Rusdi lewat Cak Dlahomnya, “Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa bodoh. Padahal dua-duanya kamu tak punya….”
Rusdi Mathari (1967-2018)
Setuju…👍,kita harus saling menghargai satu sama lain, dakwah itu mengingatkan bukan menjatuhkan, tak ada yg lebih pintar dan paling bodoh, karena semua ilmu itu milik NYA, tak ada yang berbeda jika sudah dihadapan NYA, semua sama..
Sepakat 🙂