Degradasi Reformasi: Lemahnya Gerakan Mahasiswa dan Glorifikasi Agen Perubahan

Mahasiswa seakan-akan lupa bahwa posisinya dalam struktur sosial tidak lebih tinggi dari kekuasaan rakyat. Mahasiswa berdasarkan historisnya berada di bawah kepentingan rakyat, bukan sebagai pemimpin dari perubahan melainkan peran pendukung dari perubahan yang dilakukan oleh rakyat

Tepat 23 tahun yang lalu, Indonesia sedang bergejolak. Arus perlawanan dari rakyat mendesak Soeharto untuk turun dari kekuasaan. Para mahasiswa dan pemuda memenuhi jalan-jalan protokol ibukota. Mahasiswa Universitas Trisakti melakukan long march ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang menimbulkan ketegangan antara mahasiswa dengan tentara. Tembak menembak terjadi dan mengakibatkan empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia. Aksi bukan hanya terjadi di Jakarta, kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, dan lain sebagainya juga turut melakukan aksi serupa. Korban berjatuhan dan penjarahan tidak dapat terelakkan, ketegangan juga terjadi di istana yang mengakibatkan beberapa menteri mundur dari jabatannya. Soeharto terkepung dan pada tanggal 21 Mei 1998 Ia menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden dan menunjuk Bacharuddin Jusuf Habibie untuk menggantikannya. 

Perubahan mulai dilakukan secara bertahap mulai dari reformasi birokrasi, politik, hak asasi manusia, hukum, dan ekonomi. Namun, sampai hari ini, spirit reformasi kian menurun dan memudar. Korupsi, kolusi, dan nepotisme kian gencar dilaksanakan. Merujuk pada data Indonesian Corruption Watch pada tahun 2020, total terdakwa yang terjerat kasus korupsi mencapai 1.298 orang. Selain itu, angka pada kasus kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian turut meningkat. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan pada tahun 2020, ada 741 aduan kekerasan dan penyiksaan, 150 diantaranya berkaitan dengan Institusi Kepolisian. Bukan hanya dari segi korupsi dan kekerasan aparat, namun juga dari segi agraria. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Sartika, menyebutkan telah terjadi 241 kasus konflik agraria sepanjang tahun 2020 yang terjadi di 359 daerah dengan korban terdampak sebanyak 135.332 Kepala Keluarga. 

Konteks ini berkaitan dengan posisi mahasiswa yang disebut sebagai ‘agent of change’ di masyarakat. Rintangan besar dan represifitas yang kuat dari Negara melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus serta serangkaian aksi penculikan oleh militer dihadapi Gerakan Mahasiswa pada masa Orde Baru. Kemudian, adanya upaya proses penyadaran yang dilaksanakan secara terselubung melalui forum-forum diskusi dan live in pada daerah konflik. Tentunya metode ini menekankan pada dua hal, yakni teori dan praktik. Perdebatan-perdebatan di ruang diskusi dimanifestasikan ke dalam peleburan elemen mahasiswa ke dalam perjuangan rakyat. Namun pada hari ini, pola dan metode gerakan pun berubah. 

Isu-isu struktural seperti hak-hak buruh, perampasan lahan petani, penindasan rakyat sektoral tenggelam dengan isu-isu fungsional yang digemborkan oleh elit politik untuk menggiring opini dengan kepentingan politis. Pertarungan elit politik di pusat kekuasaan seakan-akan membutakan mahasiswa untuk melihat lebih jauh ke struktur masyarakat proletariat. Gerakan Mahasiswa juga pada hari ini bersekongkol dengan kepentingan-kepentingan elit politik, sehingga mereka dibentuk sebagai tokoh politik yang hanya mengandalkan retorika belaka. 

Mahasiswa seakan-akan lupa bahwa posisinya dalam struktur sosial tidak lebih tinggi dari kekuasaan rakyat. Mahasiswa berdasarkan historisnya berada di bawah kepentingan rakyat, bukan sebagai pemimpin dari perubahan melainkan peran pendukung dari perubahan yang dilakukan oleh rakyat. Agent of change tidak dapat disematkan kepada mahasiswa, karena mereka hanya sebagai pendorong perubahan. Apabila teori agent of change ini kian hari kian digencarkan akan terjadi miss antara mahasiswa dengan rakyat dalam hal perjuangan rakyat. 

Berdasarkan dari teori masses of line yang digagas oleh Mao Zedong, menyebutkan bahwa, “In all the practical work of our party, all correct leadership is necessarily ‘from the masses, to the masses’.” Maksudnya ialah mengambil gagasan dari rakyat yang masih abstrak dan tidak tersistematis, lalu dikonsentrasikan melalui penelitian dan pendalaman secara akademis sehingga berbentuk sebagai strategi. Setelahnya, pergi kepada rakyat untuk mengembangkan apa yang mereka pahami dan rasakan, sehingga dapat diaktualisasikan ke dalam bentuk gerakan. Situasi ini melalui pendidikan dan propaganda masif, sehingga berwujud pada gerakan rakyat yang sadar akan keadaannya. Perbedaan mahasiswa dengan rakyat hanya tipis, mahasiswa memiliki modal lebih untuk mengenyam bangku perguruan tinggi yang mendapat ganjaran berupa gelar.

Hal ini juga dikuatkan dengan perkataan Tan Malaka dalam bukunya Materialisme Dialektika Logika (Madilog), “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Mahasiswa juga dapat dikatakan sebagai ‘kaum konjungtur’ atau ‘penyambung lidah rakyat’. Keadaan ini bermaksud pada seluruh tindakan politik dan gerakan mahasiswa haruslah didasarkan pada apa yang dirasakan oleh rakyat khususnya kaum proletariat. Perlu adanya kolaborasi metode gerakan lama dengan baru sehingga pola gerakan pun berkembang seiring dengan perkembangan metode penindasan. Dalam hal ini, perubahan terhadap metode propaganda yang merupakan elemen dasar dari sebuah isu. 

Propaganda jangan hanya disandarkan pada Twitter atau media sosial lainnya, namun gerakan mahasiswa harus turun dan melakukan agitasi secara langsung kepada rakyat. Hal ini memiliki tujuan yang penting, yakni memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa ia memiliki kekuatan jauh di dalam kekurangannya. Sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk turut serta dalam perjuangan melawan penindasan dan mewujudkan perubahan sosial secara revolusioner. Peringatan 23 tahun reformasi tidak hanya sekedar mengglorifikasi perjuangan mahasiswa, namun jauh di dalam itu ada suatu koreksi atas tindakan-tindakan gerakan mahasiswa selama ini. Semoga Tuhan selalu memberkahi perjuangan dan pergerakan buruh, tani, serta mahasiswa.

Farhan Syahreza

Penulis merupakan Pimpinan Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Keadilan Periode 2020-2021. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi staff bidang penelitian dan pengembangan periode 2019/2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *