Sintesis dari Gerakan Perempuan Gelombang Pertama

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2019/02/Feminisme-e1550395300422.jpg

Gerakan perempuan gelombang pertama terjadi mulai akhir abad 19 hingga awal 20. Aksi pada waktu tersebut memfokuskan pada tuntutan persamaan legal dengan laki-laki. Perutamaannya adalah hak pilih bagi perempuan.

Kondisi objektif yang memengaruhi gerakan tersebut bermula saat perempuan didorong untuk turut andil ke sektor publik. Wanita didorong untuk keluar dari rumah untuk bekerja di pabrik. Kondisi tersebut sendiri disebabkan karena banyaknya kaum laki-laki yang harus terjun ke medan untuk menghadapi perang dunia pertama.

Pada kurun waktu dekade pertama 1900-an, pertanyaan mengenai perempuan bisa mengambil bagian dalam pemerintahan bersama laki-laki semakin panas diperdebatkan. Kelas pekerja di negara kapitalis sedang berjuang untuk hak-hak perempuan yang bekerja.

Tidak satupun borjuis parlemen berpikir untuk membuat konsesi bagi para pekerja atau menanggapi tuntutan perempuan pada saat itu. Di Amerika Serikat, parlemen dan presiden sekalipun tidak memikirkan tuntutan hak pilih, mereka lebih terfokus tentang bagaimana bisa menang perang. Padahal Fourier seorang sosialis utopis pernah mengatakan, posisi perempuan dalam setiap rezim sosial adalah indikator grafis kondisi sehatnya sebuah rezim.

Kaum sosialis-demokrat di Amerika Utara saat itu bersikeras dengan penuh kegigihan atas tuntutan untuk memperjuangkan hak pilih ini. 28 Februari 1909 misalnya, kaum sosialis perempuan dari Amerika Serikat mengorganisir demonstrasi besar dan pertemuan di seluruh negeri menuntut hak pilih politik bagi wanita pekerja. Sepanjang tahun ini tuntutan untuk menciptakan parlemen yang lebih demokratis, seperti memperluas hak pilih untuk perempuan, adalah masalah penting. Hanya perempuan dan orang psikotik yang tidak memiliki hak pilih pada saat itu.

Pada saat perang dunia pertama meletus, harga-harga bahan pangan semakin membumbung. Akhirnya membuat perempuan yang bekerja di ranah domestik mempertanyakan haknya dalam pemerintahan. Namun dalam hal ini kaum perempuan yakin bahwa datang ke pasar mengobrak-abrik kios tidak akan menurunkan harga bahan pokok. Mereka yakin bahwa yang harus dilakukan adalah mengubah politik pemerintahan. Atas hal tersebut, kelas pekerja perempuan mulai memperluas dukungan.

Hari Perempuan di Amerika dan Eropa memiliki hasil yang luar biasa. Di Amerika, perempuan akhirnya bisa memenangkan tuntutan hak pilih yang mereka perjuangkan. Namun, hal yang sedikit berbeda terjadi di Uni Soviet. Pasca Revolusi Bolshevik misal, Lenin menekankan para pekerja perempuan untuk lebih banyak mengambil bagian di sistem pemerintahan, yakni sebagai administrasi perusahaan milik oleh Uni Soviet.

Perjuangan perempuan gelombang pertama menekankan peranan penting organisasi untuk membangun kekuatan. Keberadaan organisasi dalam skala nasional mampu membantu perluasan kampanye penyadaran akan pentingnya pembebasan kaum perempuan.

Adanya organisasi saat itu akhirnya mampu menyatukan kekuatan perempuan dalam skala nasional. Mobilisasi massa perempuan yang mewujud dalam bentuk aksi-aksi protes, pertemuan massal seperti pertemuan nasional yang menghasilkan Deklarasi Keprihatinan pada tahun 1848. Hal ini menunjukkan betapa signifikannya keterlibatan kaum perempuan dalam perjuangan pembebasan.

Organisasi yang ada akhirnya mengarahkan kemarahan kaum perempuan menuju perspektif yang lebih maju. Di Uni Soviet misalnya, perempuan diarahkan untuk bergabung melawan pemerintahan Tsar yang dinilai menindas. Mereka dimobilisasi untuk bergabung dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan semi feodalistik di bawah gerakan-gerakan sosialisme yang ada.

Capaian Gerakan Perempuan Gelombang Pertama

Gerakan perempuan pada kurun waktu tersebut juga memberikan dampak yang signifikan bagi buruh perempuan. Pada bulan Maret 1859, di New York, Amerika Serikat, buruh perempuan membentuk serikat pertama yang memperjuangkan hak dasar mereka saat mencari nafkah, termasuk 8 jam kerja, cuti hamil, dan jaminan kesehatan. Peningkatan ini bersamaan dengan mulai berdirinya organisasi perempuan yang memperjuangkan hak pilih di Eropa dan Amerika. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil setelah tahun 1917, Jeanetta Rankin menjadi anggota perempuan Kongres Amerika Serikat pertama dan 1920 mereka memperoleh hak suaranya.

Tercatat dalam sejarah, pada 8 Maret 1908 terhitung hingga 15 ribu perempuan turun ke jalan kota menuntut diberlakukannya 8 jam kerja, hak pilih, serta diberhentikannya mempekerjakan anak di bawah umur. Mereka mengusung slogan Bread and Roses (roti dan bunga mawar). Roti melambangkan jaminan ekonomi dan bunga mawar menyimbolkan kesejahteraan hidup.

Salah satu tokoh gerakan perempuan dari Jerman, Clara Zetkin, merupakan orang yang pertama kali melontarkan gagasan Hari Perempuan Internasional. Guna memperingati mogoknya buruh perempuan pabrik garmen yang terjadi di Amerika Serikat, sekaligus menghormati gerakan hak pilih kaum perempuan. Pada tahun berikutnya, beberapa negara di Eropa mulai memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret, yang sampai kini kita peringati. Lahirnya Hari Perempuan Internasional, merupakan hasil dari perubahan sosial yang menyertainya dan didukung oleh perkembangan gerakan perempuan melalui pengorganisasian aksi massa.

Pasang Surut Persatuan Gerakan

Pada prosesnya, pergerakan perempuan sempat menemui beberapa permasalahan. Pertengahan tahun 1800-an khususnya, gerakan perempuan yang menggabungkan diri dengan gerakan anti perbudakan akhirnya terpecah. Sejumlah kalangan aktivis anti perbudakan berpendapat bahwa perjuangan perempuan memperoleh hak di sektor publik harus dihentikan terlebih dahulu dan hanya berkonsentrasi pada pembebasan kaum budak kulit hitam. Sementara di sejumlah kalangan aktivis lainnya percaya bahwa perjuangan pembebasan budak harus seiring sejalan dengan pembebasan kaum perempuan. Perpecahan itu tepatnya terjadi pada 1867, ketika amandemen ke-15 pada konstitusi berhasil memberikan hak suara pada lelaki kulit hitam.

Terhadap hasil amandemen tersebut terdapat dua organisasi perempuan yang memiliki sikap berbeda. The National Women’s Suffrage Association (Brownell Anthony, Stanton) menentang amandemen ke-15. Di lain sisi The American Women’s Suffrage Association, (Lucy  Stone, Julia Ward Howe) mendukung legalisasi hak pilih kaum lelaki kulit hitam dan memasukkannya ke dalam keanggotaan organisasinya. Baru pada tahun 1890 kelompok tersebut bersatu kembali. Namun setelah gerakan menentang perbudakan berhasil dimenangkan, seperti hak pilih bagi mantan budak (tidak termasuk wanita), kelompok ras kulit tak lagi bergabung dengan gerakan perempuan.

Kelemahan Gerakan Perempuan Gelombang Pertama

Setelah keberhasilan ini, kaum perempuan bisa mempunyai hak pilih dalam sektor pemerintahan dan akses pendidikan. Namun, kenyataannya tidak semua perempuan memperoleh hak tersebut. Terlebih bagi kaum perempuan dari kulit berwarna dan perempuan di negeri terjajah. Hanya kaum perempuan menengah ke atas yang mempunyai akses untuk dipilih dan kehidupan yang lebih baik, seperti memperoleh pendidikan, kesehatan, serta pekerjaan yang layak.

Singkatnya, gerakan perempuan gelombang pertama belum mampu memberi jalan keluar bagi penindasan wanita di negara terjajah maupun kulit berwarna. Bahkan penindasan akan perempuan kelas buruh belum mampu diselesaikan dalam gerakan gelombang pertama ini.

Mengenai strategi dan taktik perjuangan, gerakan perempuan gelombang pertama memiliki beberapa kesalahan. Hal ini terlihat dengan adanya perpecahan pandangan antara kelompok yang memperjuangkan penghapusan perbudakan dengan pergerakan perempuan. Perpisahan yang dilakukan oleh kelompok pengusung penghapusan perbudakan adalah hal yang salah. Biar bagaimanapun, perempuan terdapat di segala lapisan masyarakat, termasuk dalam ras kulit berwarna. Sehingga perjuangan perempuan tetap selalu melekat dalam perjuangan rakyat di segala lini. Hasil dari gerakan anti perbudakan misalnya, yang mendapatkan hak pilih hanyalah kaum budak laki-laki. Sementara perjuangan kaum perempuan hanya berfokus pada perjuangan hak pilih terhadap kelompok mereka tanpa melihat ketertindasan oleh sistem ekonomi politik yang sedang berlangsung. Setelah hak pilih didapat, gerakan perempuan justru melemah dan mengejar posisi dalam parlemen.

Kemerosotan ini diakibatkan karena aktivis perempuan mulai mempercayai perubahan melalui lobi-lobi politik dalam gedung parlemen. Maka pelajaran yang dapat diambil dari gerakan perempuan adalah; pertama organisasi sebagai alat perjuangan, kedua aspek persatuan, dan ketiga adalah mobilisasi massa. Ketiga hal tersebut masih sangat minim terdapat pada masa ini di Indonesia. Organisasi perempuan radikal, yang mau memobilisasi massa, melakukan agitasi dan propaganda politik tercatat telah berakhir sejak dihancurkannya Gerwani pada masa kepemimpinan Orde Baru.

Belajar dari Sejarah, Lakukan!

Demi memenangkan perjuangan tersebut, kita harus belajar dari sejarah yang sudah dicapai oles gerakan selama ini. Poin utamanya, harus dibangun sebuah gerakan pembebasan perempuan yang luas, inklusif, kreatif, aktif, dan tidak kompromis untuk meraih kesetaraan.

Perjuangan untuk meraih kesetaraan bukanlah perjuangan antara perempuan menghadapi laki-laki, melainkan perlawanan atas penindasan masyarakat berkelas. Dengan begitu, aktivis feminis harus mengembangkan strategi untuk beraliansi dengan kelompok tertindas lainnya. Saling mempelajari tentang perbedaan pengalaman penindasan, di sisi lain memperkuat jaringan yang menyatukan para pihak untuk berjuang. Sehingga cita-cita untuk mengakhiri masyarakat berkelas dan membangun sistem kesamaan pilihan hidup terlepas dari asal-usul ras, kelas, dan jenis kelamin mereka dapat tercapai.

Persatuan tersebut akhirnya harus dimanifestasikan dalam aksi massa. Strategi tersebut adalah satu-satunya cara yang sudah terbukti tepat dapat memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak perempuan. Gerakan harus membawa kepentingan akan sebuah kebutuhan dan aspirasi mayoritas perempuan daripada segelintir mereka yang memiliki hak istimewa.

Rizaldi Ageng

Penulis merupakan Pimpinan Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Keadilan Periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Pimpinan Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Keadilan Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *