Festival Musik dan Politik: Dua Hal Seru yang Tak Terpisahkan

festival musik

Pagi itu pukul 08:30 di musim panas tahun 1969, Jimmy Hendrix naik ke atas panggung dengan gitar putih bermerk Fender-nya pasca derasnya hujan semalaman yang sempat menunda. Di hadapan 30 ribuan penonton—dari sebelumnya yang mencapai lebih dari 400 ribu—yang tetap bertekad menginap demi menunggu penampilannya, ia membawakan 18 lantunan musik dengan penampilan penuh teknik dan penjiwaan. Ketabahan para penonton yang memilih bertahan tentu saja tak ia khianati. Hal ini bisa kita lihat dari betapa melegendanya penampilan Hendrix saat membawakan lagu kebangsaan Amerika Serikat (AS), The Star-Spangled Banner.  Penampilan Hendrix saat itu bukan hanya menjadi penutup sempurna bagi Woodstock 1969 yang berlangsung selama empat hari tersebut, tetapi juga berhasil menorehkan dirinya dan festival tersebut sebagai ikon kesempurnaan acara musik yang belum tertandingi hingga hari ini.

Terlepas atas kesempurnaannya sebagai festival musik, tak dapat ditepiskan pula bahwa Woodstock 1969 yang diadakan di Bethel, AS, tersebut merupakan ajang para pemuda AS untuk berkumpul dan menyampaikan aspirasi politik. Permasalahan hak-hak sipil, feminisme, dan Perang Vietnam menjadi isu-isu yang diungkit oleh para pemuda dalam festival yang mengusung tema perdamaian tersebut. Tak ayal selepas festival itu, gerakan Counterculture dan komunitas Hippie yang aktif bersuara dalam menentang Perang Vietnam dan juga isu sosial lainnya pun semakin menjadi-jadi.

Kini nyaris 49 tahun sejak saat itu, keberhasilan Woodstock 1969 terbukti berhasil menginspirasi munculnya festival-festival serupa di seluruh dunia. Tak ketinggalan pula, budaya menjadikan festival musik sebagai ajang untuk mengaspirasikan pandangan politik, yang tetap eksis hingga kini. Lihat saja Glastonbury, festival musik tahunan paling agung di daratan Britania yang tak pernah lepas dari berbagai agenda politik. Puncaknya pada tahun 2017 lalu, saat Pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn, memberikan pidato singkat di panggung utama yang menyinggung kebijakan politik Presiden AS, Donald Trump. Tak ayal, walaupun tampil sebagai pihak oposisi pemerintah, Corbyn tetap mendapat sambutan meriah dari penonton.

Bahkan festival musik semodis Coachella pun tak bisa lepas dari agenda politik. Tentu masih membekas penampilan Beyonce pada Coachella 2018 yang tampil glamor sebagai penampil utama. Pada aksinya saat itu, Beyonce tidak hanya sekadar berlenggak-lenggok di atas panggung menikmati status divanya. Ia juga mengusung pesan tentang pentingnya komunitas orang kulit hitam, secara spesifik terhadap Historically Black Colleges and Universities (HBCUs). Alhasil, aksi Beyonce tersebut pun berhasil mendapatkan pujian dari berbagai kalangan.

Semi Politik di We The Fest 2018

Lantas bagaimana dengan budaya festival musik di Indonesia? Sebagai negara yang tidak cukup liberal untuk bisa tampil nyaring dalam beraspirasi, tetapi tak cukup terkekang juga untuk bersikap apolitis, Indonesia memang berada dalam situasi yang canggung dalam hal ini. Di satu sisi, situasi politik yang memanas belakangan ini memang sangatlah layak untuk diangkat di hadapan ribuan penonton. Tetapi di lain sisi juga, sangat sulit bagi musisi kita untuk menyampaikan aspirasinya secara gamblang tanpa membuat pihak mana pun tersinggung.

Penampakan inilah yang terlihat dalam We The Fest 2018 yang berlangsung pada 20-22 Juli lalu. Walaupun tidak bisa dikatakan hampa, tetapi pesan-pesan politik yang disampaikan dalam festival tahunan ini terasa terlalu samar. Misalnya, saja Abigail Cantika dari grup vokal GAC yang menyampaikan pentingnya untuk tetap bersatu sebelum membawakan tembang mereka dengan judul Satu. Sekilas saja, siapa pun pasti sadar bahwa ungkapan tersebut merupakan pesan sindiran atas mudahnya timbul perpecahan akibat perbedaan yang terjadi di negeri ini. Hanya saja, karena pesan tersebut disampaikan dengan begitu klise dan terlalu cepat hingga akhirnya cuma terasa seperti prosedur yang memang harus disampaikan sebagai pengantar menuju lagu. Layaknya suara monoton pramugari yang menyampaikan prosedur keselamatan sebelum lepas landasnya pesawat.

Sama halnya dengan para musisi, penonton yang hadir juga tak kalah canggung dalam menyuarakan politik. Tak terlihatnya penonton yang hadir membawa atribut berisi pesan politik, membuat festival ini seakan sedang diadakan di tengah negara utopis dengan segala kedamaiannya. Bisa dibilang pemandangan paling politis dari khalayak penonton saat itu adalah dengan nampaknya beberapa orang yang membawa kipas bergambar wajah Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un di tengah-tengah kerumunan. Tapi tentu saja, sulit untuk bisa mengualifikasikan kipas gratisan dari sponsor festival tersebut sebagai atribut politik.

Kecanggungan politik ini pun semakin sempurna dengan hadirnya Presiden Joko Widodo pada saat White Shoes and The Couples Company sedang tampil di panggung utama. Dengan setelan putih khasnya, Presiden Joko Widodo berdiri santai dengan dikelilingi oleh Paspampres yang memasang wajah sigap. Tidak lama setelahnya, ia pun meninggalkan area untuk pergi melihat penampilan di panggung lainnya sambil diikuti oleh rombongan penonton dan awak media. Hanya menonton dan menemui masyarakat, tak ada pesan tersurat. Sikap Presiden Joko Widodo yang memilih untuk berpolitik dengan menghindari politik ini tentu saja dapat menjadi metafora yang sangat tepat untuk menggambarkan kecanggungan politik di We The Fest 2018.

Tapi tentu saja sifat ingin tapi enggan untuk berpolitik ini dapat dimaklumi. Sebuah festival musik yang diadakan di akhir pekan dengan komposisi musisi luar negeri tentu saja akan terasa kurang sesuai bila dipadankan dengan kemuraman khas topik politik. Terlebih lagi kebanyakan penonton berasal dari kalangan remaja dengan penampilan trendi. Toh, siapa juga yang sudi membayar tiket yang harganya sekitar Upah Minimum Provinsi DI Yogyakarta hanya untuk membahas ‘omong kosong’ ala politik?

Kurangnya unsur politis tentu saja tidak membuat festival musik menjadi terasa hambar. Akan tetapi, aneh saja rasanya melihat ribuan orang berkumpul menikmati musik selama tiga hari beruntun tanpa ada agenda politik khusus yang disampaikan. Mengingat pada dasarnya musik merupakan salah satu alat penggerak sosial yang paling  sering dimanfaatkan. Bagaimanapun juga, layaknya sepak bola dan segala hal yang mampu mengumpulkan banyak orang, festival musik tentu saja tak akan pernah jauh dari politik.

Aldhyansah Dodhy Putra

Penulis merupakan Staf Bidang Redaksi, tepatnya sebagai Redaktur LPM Keadilan periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Koordinator Redaktur K-Online Periode 2017-2018 dan Pimpinan Redaksi Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *