Geliat Pemuda Bicara Politik: Menyalakan Lilin dalam Kegelapan

esai

Oleh: Brandon Firman*

Berbicara tentang tren yang terjadi pada tahun 2018, maka sulit rasanya mengesampingkan fenomena tahun politik yang tentu menyita perhatian khusus bagi khalayak masyarakat Indonesia. Fenomena lima tahunan ini bukan hanya sekadar pagelaran akbar panggung politik negeri, namun juga menjadi ajang untuk mengampanyekan tren baru bagi masyarakat luas. Sebut saja munculnya tagar #2019GantiPresiden yang cukup menyita perhatian publik, tren ini berkembang sebagai manifestasi dari gesekan politik yang ‘mulai’ muncul dalam rangka menuju pemilihan umum (pemilu) pada tahun 2019 nanti. Tak ada yang salah dengan tren tersebut, karena sejatinya hal itu merupakan bagian dari aspirasi demokratis untuk menilai kinerja petahana. Namun demikian, hal ini perlu diaspirasikan dengan cara-cara yang tidak menodai unsur demokrasi itu sendiri.

Terlepas dari semakin bisingnya segmentasi tahun politik, terdapat fitur pembaharu yang mulai bergeliat kembali pada tahun 2018 ini. Kesadaran politik yang semakin tumbuh pada generasi muda telah memberikan warna tersendiri dalam kontestasi pemilu di tahun yang akan datang. Tak sedikit suara-suara inovatif mulai terdengar di tengah upaya pembuatan kebijakan yang masih sangat primitif. Memandang masa depan bangsa Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari peran serta anak muda dalam mengaspirasikan gagasan-gagasan yang kreatif, inovatif, serta konstruktif. Reformasi 1998 telah menjadi bukti nyata bahwa pemuda mampu mengubah, sekarang tinggal bagaimana perubahan tersebut bisa memberikan dampak positif bagi masa depan bangsa.

Tentu yang diperlukan bangsa ini bukanlah pemuda yang hanya mengkritisi namun enggan untuk berpartisipasi. Kita juga paham bahwa 10 orang pemuda yang dimaksud Soekarno dalam orasinya ialah para pemuda yang memiliki intelektualitas, integritas, serta bersedia untuk membangun negara. Sehingga narasi “10 orang pemuda akan mengguncangkan dunia,” tentu memiliki beberapa kriteria dan prasyarat yang harus dipenuhi.

Tren pemuda bicara soal politik semakin keras terdengar menjelang konstetasi Pemilu 2019. Menurut hemat penulis, hal ini tak bisa dilepaskan dari semakin cairnya pergerakan global,  yang tentu memberikan dampak bagi Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Gelombang kepercayaan publik bagi kaum muda sedang berkembang pesat dalam percaturan politik global. Tren global inilah yang mungkin beririsan dengan fenomena pemuda yang mulai peka terhadap isu-isu politik di Indonesia.

Pada tahun 2015 Kanada secara resmi melantik perdana menteri terpilihnya yakni Justin Trudeau yang sekaligus menjadikannya perdana menteri kedua termuda yang pernah menjabat di Kanada. Pada saat menginjak singgasananya, Trudeau masih berusia 47 tahun. Usia ini terbilang muda bagi seorang kepala pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dengan negara yang luas wilayahnya terbesar kedua di dunia. Kasus lain terjadi di Perancis tatkala pemilu 2017 memenangkan Emmanuel Macron secara telak yang sekaligus mengantarkannya sebagai presiden termuda sepanjang sejarah Perancis. Ia menjabat sebagai presiden pada usia 39 tahun melalui proses pemilu yang disokong oleh partai politik buatannya sendiri. Kasus terakhir adalah munculnya kemungkinan Luigi Di Maio menjadi Perdana Menteri Italia di usianya yang baru menginjak 31 tahun.

Tren peningkatan kepercayaan bagi kaum muda dalam dunia global telah memicu efek domino yang sedang merambah ke dalam sendi-sendi perpolitikan bangsa Indonesia. Tak sedikit para pemuda kita yang mulai berani untuk bukan hanya menyuarakan aspirasi, namun juga terjun langsung untuk ikut berpartisipasi. Pilkada DKI Jakarta tahun lalu menjadi salah satu ajang yang menampilkan sosok pemuda yang turut ambil bagian dalam kontestasi pemilihan gubernur pada saat itu. Agus Harimurti yang masih berusia 38 tahun mencoba peruntungannya dalam pilgub DKI meski akhirnya dinyatakan tidak lolos pada putaran kedua. Nama lain seperti Zumi Zola (mantan Gubernur Jambi), Sigit Purnomo (Wakil Walikota Palu), dan sederet nama lain merupakan beberapa pemuda yang mencoba terjun dalam dunia politik. Meskipun tak semuanya berjalan dengan mulus.

Pada tahun politik ini, geliat tersebut semakin mengudara dengan banyaknya nama-nama baru yang menghiasi dinding-dinding kota guna merefleksikan keinginannya untuk ikut ambil bagian dalam konstelasi politik yang ada. Nama-nama seperti Giring Ganesha, Pandji Pragwaksono, Grace Natalie, Emil Dardak, Muchammad Romahurmuziy, hingga Muhammad Zainul keras terdengar menjelang pemilu yang sebentar lagi akan dihelat. Tak ketinggan terdapat nama-nama seperti Tsamara Amany, Pangeran Siahaan, serta Cania Citta mulai bermunculan sebagai representasi generasi milenial yang mulai diperbincangkan khalayak ketika mereka seringkali melemparkan kritik dan sarannya dalam kancah perpolitikan negeri. Sederet nama di atas merupakan representasi dari mencuatnya geliat para pemuda yang menaruh kepedulian terhadap politik negeri.

Jika para pemuda mulai peduli terhadap politik negeri, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah iklim politik kita mampu menerima kehadiran para pemuda? Menurut Amalinda Savirani, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, bahwa hadirnya pemuda dalam kancah perpolitikan masih sulit untuk bergerak dengan leluasa. Hal ini ia sampaikan oleh karena menurutnya masih terdapat tiga fenomena yang buruk dalam politik di Indonesia yaitu patronasi, klientilisme, dan jual beli suara. Pakar hukum tata negara Refly Harun juga sepakat dengan yang disampaikan oleh Amalinda, bahwa iklim politik di Indonesia masih menjunjung senioritas dalam partai politik, hal inilah yang membuat terbatasnya ruang gerak bagi para pemuda. Tak jauh berbeda dengan ungkapan di atas, pengamat politik Universitas Airlangga, Pribadi Kusman, juga mengungkapkan pesimismenya terkait dengan realitas politik yang tidak memihak bagi para kaum muda di Indonesia. (Sucahyo, 2018).

Iklim tidak bersahabat bagi politisi muda yang ingin berkarya sudah sepatutnya menjadi fokus dari pemerintah guna merestrukturisasi peran pemuda dalam percaturan politik di Indonesia. Dalam hal ini penulis melihat bahwa pesatnya pergerakan globalisasi tidak cepat ditanggapi oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap inovasi pembaharuan. Kebijakan pemerintah cenderung lamban dalam menghadapi cairnya arus teknologi dan informasi yang dibalut oleh bingkai globalisasi. Sebagai contoh yaitu kebijakan pemerintah yang gagap dalam menghadapi sengketa kasus ojek online beberapa tahun lalu. Hal tersebut menjadi contoh sempurna dari masih primitifnya kebijakan pemerintah dan terkesan sulit untuk mengejar laju perkembangan globalisasi.

Pada tahap inilah inovasi pemuda dibutuhkan untuk merestrukturisasi pola kebijakan primitif yang masih sangat tradisional dan tak mampu bersaing dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Terlebih wacana bonus demografi yang akan mendatangi Indonesia pada beberapa tahun ke depan, telah mengisyaratkan bahwa jumlah pemuda Indonesia berada pada angka yang lebih besar ketimbang jumlah populasi usia tua. Data yang dihimpun oleh SMRC mengungkapkan bahwa 55% dari jumlah pemilih pemilu 2019 adalah golongan usia muda dengan rentang usia pemilih yaitu 17-38 tahun. Hal ini menandakan bahwa tren para pemuda yang terjun ke dunia politik bukan hanya pemanis bingkai politik saja, namun juga sebagai representasi dari 55% jumlah suara pemilih. (Ramadhan, 2017)

Sebagai penutup, geliat para pemuda yang mulai bicara tentang politik sudah sepatutnya menjadi ilham bagi iklim politik negeri untuk bersedia direnovasi menggunakan gagasan-gagasan futuristik yang identik dengan pemikiran para golongan muda. Sudah saatnya bangsa kita berbenah diri dengan semangat juang para pemuda yang memiliki integritas dan daya kreativitas tinggi. Di samping itu, segala upaya yang dilakukan oleh para pemuda untuk bertahan dalam iklim politik yang primitif perlu untuk diapresiasi. Karena mereka yang turut berpartisipasi dalam politik, adalah para pemuda yang lebih memilih menyalakan lilin ketimbang berteriak mengutuk datangnya gelap.

  • Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya Universitas Islam Indonesia. Tulisan ini adalah pemenang pertama dari Lomba Esai HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

LPM Keadilan

Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan atau LPM Keadilan merupakan suatu organisasi yang didirikan sejak tahun 1974 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *