Categories Lensa

Delapan Tahun Jejak Beteng dan Brama

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Gangsa Sekati (gamelan)—Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga—sudah tak terdengar lagi setelah tujuh hari lamanya ditabuh oleh Abdi Dalem Kridha Mardawa, di dalam Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, Masjid Gedhe. Rentang waktu selama tujuh hari itu disebut dengan Sekaten. Udara di halaman Masjid Gedhe pun tergantikan oleh keriuhan masyarakat yang datang dari segala penjuru mata angin. Di luar tembok masjid, tepat di Alun-alun Utara, terdengar juga kemeriahan pasar malam yang ikut meramaikan perayaan tahunan Sekaten.

Gangsa Sekati dimainkan dari tanggal 5-11 Mulud, sebanyak tiga sesi dalam sehari. Gangsa Sekati hanya ditabuh di luar waktu salat lima waktu. Namun, pada hari Kamis petang sampai dengan salat Jumat, Gangsa Sekati tidak ditabuh.

Sekaten merupakan perayaan tahunan dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW) yang rutin diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. Pada awalnya, upacara Sekaten dilaksanakan sejak zaman Kesultanan Demak, sebagai cara penyebaran dan siar ajaran agama Islam di tanah Jawa ketika itu. Berdasarkan itulah, maka tidak heran apabila unsur kebudayaan—terutama gamelan—berakulturasi menjadi media dakwah.

Perayaan berlangsung selama tujuh hari dari tanggal 5-12 Mulud atau Rabiul Awal dalam kalender Islam. Sehari sebelum tanggal 12, masuklah prosesi Mulud Pesowanan Malam Garebeg yang dihadiri Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Berangkat dari keraton, HB X menuju ke kompleks Masjid Gedhe. Setelah melewati Regol (gapura), HB X langsung mengarah ke Pagongan Kidul untuk menebar udhik-udhik—uang logam bercampur beras kuning dan bunga—yang diperebutkan oleh masyarakat. Lalu ia menuju ke Pagongan Lor untuk melakukan hal yang sama. Makna udhik-udhik sendiri adalah sedekah, doa keselamatan, dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya.

Selesai menebar udhik-udhik, HB X masuk ke dalam Masjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian riwayat Nabi Muhammad SAW. Mendekati Pukul 22.00, HB X meninggalkan Masjid Gedhe menuju arah pintu masuk Beteng Selatan halaman masjid untuk melanjutkan prosesi Jejak Beteng.

Berbeda dengan perayaan Sekaten tahun lalu, Jejak Beteng merupakan prosesi yang berlangsung hanya delapan tahun sekali dalam setiap Mulud Pesowanan Malam Garebeg. Jejak Beteng adalah prosesi untuk mengingat kembali peristiwa HB terdahulu. Ketika itu HB yang berada Masjid Gedhe terkepung oleh musuh, lalu dia menuju ke bagian selatan masjid dan menendang Beteng hingga runtuh membentuk lubang keluar. Tidak heran apabila Jalan Kauman—berbatasan langsung dengan pintu selatan masjid—disesaki masyarakat yang ingin melihat langsung prosesi Jejak Beteng. Tidak hanya melihat, masyarakat juga mempercayai reruntuhan Beteng dapat mendatangkan peruntungan.

Keesokan harinya, di sisi luar Masjid Gedhe dari arah Alun-alun Utara, suara riuh masyarakat mulai terdengar dan semakin keras. Tak lama berselang, tampak dari mulut Regol, diiringi derap langkah beserta tiupan terompet dan tabuhan drumben, sepasukan prajurit dengan seragam kebesaran berbaris masuk ke halaman masjid. Setelah itu, dengan digotong oleh sekelompok orang berseragam merah, segunungan sayur dan pelbagai hasil alam setinggi 2-3 meter masuk mengikuti. Melihat itu, hiruk pikuk masyarakat pun semakin menjadi.

Acara puncak Sekaten adalah upacara Garebeg. Prosesi ini merupakan kegiatan mengeluarkan gunungan yang telah dipersiapkan sebelumnya pada upacara Numplak Wajik. Saat prosesi ini, seluruh gunungan akan dikawal oleh 10 bregada—kompi—prajurit Kraton: Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis.

Pada perayaan Garebeg, ada lima gunungan yang dibuat. Kelima gunungan itu ialah Kakung, Putri, Darat, Gepak dan Pawuhan. Apabila Garebeg yang diselenggarakan bertepatan dengan Tahun Dal—satu kali dalam 8 tahun menurut kalender Jawa, maka harus ditambahkan lagi satu gunungan, yaitu Gunungan Brama atau Kutug. Berbeda dengan gunungan lainnya, Brama tidak untuk diperebutkan oleh masyarakat. Sebab, setelah didoakan di Masjid Gedhe, Brama diarak menuju Kepatihan.

Garebeg Mulud merupakan prosesi dari rangkaian Sekaten yang paling ditunggu-tunggu masyarakat. Gunungan adalah perwujudan rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi dari wilayah kerajaan, dan kemudian dibagikan untuk kesejahteraan rakyat. Maka tidak asing lagi, apabila prosesi doa telah selesai dibacakan, tanpa menunggu, masyarakat segera berlari untuk mendapatkan sajian yang tersusun pada gunungan terdekat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *