Sistem Nilai Baru di Pesantrenisasi  2016

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2017/11/foto-fix.jpg

“karena mahasiswa itu mikirnya pesantrenisasi hanya sebagai lambang atau simbol saja. Jadi mereka itu yang penting memakainya dengan cara yaitu mengikuti segala kegiatan pesantrenisasi tanpa harus meresapi apa nilai nilai pesantrenisasi itu sendiri.”- Ucap Iczha Septian Tama, Mahasiswa Fakultas Hukum UII.”

Universitas Islam Indonesia (UII) adalah lembaga pendidikan yang berbasis keislaman. Basis nilai keislaman tersebut salah satunya di aktualisasikan melalui kegiatan pesantrenisasi. Kegiatan pesantrenisasi ini rutin dilaksanakan setiap tahun di UII dan wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, di mana kelulusan pesantrenisasi sebagai syarat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hal serupa diungkapkan oleh Iczha Septian Tama atau biasa dipanggil Asep, mahasiswa Fakultas Hukum UII angkatan 2016, “Kegiatan pesantrenisasi syarat untuk dapat mengikuti KKN dan banyak juga pelajaran di sana, penanaman nilai-nilai agama pokoknya sesuai dengan visi dan misi UII lah.”

Dilihat dari sisi pelaksanaan, kegiatan pesantrenisasi tahun 2016 memiliki perbedaan dari tahun-tahun sebelumya. Perbedaan mendasar adalah jangka waktu pelaksanaan dan metode penilaian yang digunakan. Umar Haris Sanjaya selaku Kepala Divisi Pengkajian dan Pengembangan Keislaman Direktorat Pedidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) UII mengatakan, “Kalau dulu kan pesantrenisasi hanya empat hari, sekarang dinaikkan jadi 20 hari, tapi cita-cita UII pesantrenisasi itu satu tahun agar membentuk mental karakter jiwa yang dicita-citakan UII.”

Di samping itu dia juga menjelaskan bahwa standar penilaian pesantrenisasi berbeda dengan tahun lalu. Pada pesantrenisasi sebelumnya, penilaian diambil dari ujian Baca Tulis Alquran (BTAQ) dan praktik ibadah, sedangkan sistem yang sekarang kelulusan pesantrenisasi mengambil dari poin-poin penilaian seperti kehadiran, kedisiplinan, ujian tulis, dan ujian BTAQ. Namun, praktik ibadah tidak dimasukkan ke dalam pesantrenisasi tapi dimasukkan kedalam kegiatan taklim.

Adanya inovasi dan pembaharuan dalam kegiatan pesantrenisasi 2016 menimbulkan respon beragam dari berbagai pihak. Khairul Amri, mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) yang juga merupakan peserta pesantrenisasi 2016 mengatakan “Kegiatan ini sangat membantu menambah pengetahuan mengenai pendidikan agama Islam baik itu ilmu praktis maupun wawasan. Khairul Amri juga menjelaskan jika awalnya dia menjalani pesantrenisasi selama 20 hari itu sangat berat namun setelah menjalaninya dia tidak merasa bahwa pesantrenisasi sudah hampir selesai.

Adanya respon terkait sitem penilaian tersebut, DPPAI selaku lembaga pelaksana kegiatan pesantrenisasi, diwakili oleh Umar Haris Sanjaya mengutarakan “Sistem penilaian pesantrenisasi dengan porsi 70 persen kehadiran, 20 persen ujian, dan 10 persen penilaian pemandu.(pindah atas) Sengaja dibuat karena pesantrenisasi tahun ini lebih difokuskan kepada keikutsertaan mahasiswa dalam pesantren, seperti salat lima waktu berjemaah, tadarus bersama, salat tahajud, dan salat duha. Kegiatan pesantrenisasi ini lebih menanamkan sifat dan mengubah sifat mahasiswa, jadi memang difokuskan pada kehadiran, dengan mereka hadir mengikuti kegiatan dari situlah tertanam sikap-sikap apa yang dihasilkan dipesantrenisasi.” Dia juga menyampaikan bahwa kedisiplinan juga menjadi fokus utama tujuan pesantrenisasi, maka dari itu porsi penilaian terkait kehadiran lebih diunggulkan 70 persen dari porsi penilaian yang lain. Penentuan tujuan pesantrenisasi berupa kedisiplinan merupakan kewenangan dari Pola Pengembangan Kemahasiswaan (Polbangmawa) UII. DPPAI dalam hal ini hanya sebagai pihak yang melaksanakan konsep yang telah disusun oleh Polbangmawa tersebut.

Mengomentari sistem penilaian tersebut, Mukhlis mengatakan “Kedisisplinan dalam peserta pesantrenisasi belum tercapai kalau dalam pesantrenisasi itu kan semuanya dibangunin, tanpa ada kesadaran masing-masing. Kalau kita lihat selama 20 hari itu hanya beberapa orang yang sadar akan kedisiplinan, kayak mereka salat tahajud jam tiga mereka bangun subuh, kalau gak dibangunin gak ada yang bangun. Sehingga jika memang kedisiplinan itu yang ingin dicapai, itu hanya dicapai oleh beberapa orang. Maksudnya, membangun kesadaran itu harus dari diri sendiri.” Mukhlis juga membenarkan jika sistem pesantrenisasi yang baru ini belum dapat dikatakan efektif.

Sependapat dengan Mukhlis, Asep mengatakan “Sistem seperti itu tidaklah efisien untuk peningkatan kualitas dari sisi agamis dari mahasiswa itu sendiri, karena mahasiswa itu mikir-nya pesantrenisasi hanya sebagai lambang atau simbol saja. Jadi mereka itu yang penting memakainya dengan cara yaitu mengikuti segala kegiatan pesantrenisasi tanpa harus meresapi apa nilai-nilai pesantrenisasi itu sendiri.” (dipindah atas)

Munculnya pendapat bahwa sistem penilaian pesantrenisasi 2016 belum dapat dikatakan efektif, Direktur Utama DPPAI, Muntoha, mengungkapakan “Masih dievaluasi mengenai standar penilaian ini karena masih tahap pertama, karena ini masih uji coba, nanti setelah ini selesai baru bisa menentukan efektif tidaknya. Masih dievaluasi karena ini sistem baru.” Ketika ditanya mengenai alasan penetapan sistem penilaian tersebut, Muntoha mengatakan bahwa, alasan penilaian karena sistemnya halaqoh—belajar secara mengelompok, sehingga pembimbing bisa mengetahui perkembangan mahasiswa yang didampinginya, serta mempunyai kewenangan untuk memberikan penilaian seperti itu. “Asumsinya kalau hadir terus pasti bisa mengerjakan soal dan itu memudahkan mahasiswa tidak terkesan mempersulit”.

Saat ditanya mengenai apakah sistem pesantrenisasi yang lama belum sesuai dengan target yang ingin dicapai UII, Muntoha mengutarakan bahwa target itu relatif, penggunaan sistem seperti ini disebabkan karena masih banyak alumni-alumni UII yang kurang kompeten dibidang agama. Hal ini terlihat pada setiap penerimaan dosen baru, alumni-alumni UII kalah dengan perguruan tinggi lain, dan sebagian besar mereka terkendala pada saat tes agama. Padahal UII memiliki kegiatan pesantrenisasi, LKID (Latihan Kepemimpinan Islam Dasar), dan pesantrenisasi pra-KKN. Sehingga memang diperlukan pembaharuan sistem supaya alumni UII mampu berkompetisi dengan perguruan tinggi lainnya.

(Idealita ditambah dari wawancara asep) Mengenai sistem penilain pesantrenisasi seharusmya dibuat lebih seimbang antara nilai kehadiran dengan nilai ujian, seperti yang diungkapkan Mukhlis Winata, “Harus diperbaiki sistem seharusnya antara materi yang diujikan dan kehadiran itu seimbang 50-50 atau lebih besar ujianya.”

Reportase bersama: Dhieka Perdana* dan Aldhyansah Dodhy Putra*

*Kader magang LPM Keadilan 2015-2016

Wahyu Prasetyo

Penulis merupakan staf bidang Pengkaderan LPM Keadilan periode 2017-2018.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *